“… Itulah Allah, Tuhanmu, Tidak ada Tuhan selain dari Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia…” (QS. Al An’aam (6) : 102)
Di dalam rutinitas kehidupan kita sehari-hari sejak dini hari, pagi, siang, petang sampai malam hari, apakah yang kita rasakan, apakah yang kita pikirkan dan apakah yang kita kerjakan? pernahkah kita renungkan ? kiranya perlu sejenak luangkan waktu untuk merenungkannya. Sebagian besar waktu kita gunakan untuk mencari sesuatu dalam rangka mencukupi kebutuhan.
Misalnya kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal, kenyamanan, nama, pengakuan masyarakat sampai aktivitas yang bersifat rekreasi dan hiburan. Yang jelas semuanya itu sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan diri. Apakah diri sendiri, keluarga sendiri ataupun kelompok, lembaga dan golongan sendiri. Bahkan adakalanya dalam pencaharian itu menempuh cara-cara yang melampaui batas (dholim). Apakah terhadap diri dengan memeras pikiran dan tenaga, ataupun terhadap keluarga, sesama teman, masyarakat dan semesta alam ini. Bila itu semua yang kita lakukan berarti diri terbelenggu terhadap keinginan diri/nafsu akan dunia beserta isinya.
Apa yang sebenarnya kita cari dalam kehidupan dunia ini ? Apakah sudah menjamin kehidupan selamat ataukah semuanya belum kita dapat ? Jika demikian, berarti perjalanan hidup ini belum pasti arah tujuannya. Itulah keadaan manusia dan alam jagat raya saat ini, berada dalam suasana terang tetapi gelap.
Terang karena gemerlapnya berbagai sajian dunia, yang membuat diri semakin terpukau dan terlena. Padahal yang nampaknya terang itu hanyalah terang semu. Hal ini disebabkan aktivitas hidup berpijak dan berpangkal dari keinginan nafsu yang tak berujung. Sedangkan gelap adalah tak jelasnya arah tujuan pandangan hidup.
Akan dibawa kemana kehidupan manusia dan alam semesta ini? Sajian dunia yang berpangkal dari nafsu/keinginan manusia melahirkan sajian yang merusak moral dan mental manusia dan tekhnologi canggih yang seringkali berdampak negatif kepada lingkungan alam semesta. Bila kita renungkan lebih lanjut, sudah benarkah sikap, jalan pikiran, rasa, dan pekerjaan/perbuatan kita?
Seharusnyalah kita bertanya pada hati nurani kita masing-masing. Memang sepintas pekerjaan ini adalah pekerjaan sia-sia yang tidak menghasilkan apa-apa. Bila pendapat ini kita turuti sehingga tak mau merenung sedikitpun, akan membawa kita terperosok ke jurang kesombongan dan kebodohan berakibat kesia-siaan dalam pencapaian hidup yang bersifat sementara di dunia dan kehidupan kekal di akherat.
Namun bila mau merenung untuk mencari jawab akan kita dapatkan hikmah pelajaran bagai secercah cahaya menuju kejelasan nyata.
Di tengah kegelapan kehidupan manusia
Hadir secercah cahaya lentera
Membelah kegelapan ke titik kejelasan nyata
Agar terangkat kehidupan manusia nan mulia
Lalu kemana kita harus mencari jawabannya?Bukankah semua yang ada pada diri kita yaitu Ruh, Rasa, Hati, Aqal, Nafsu dan tubuh adalah ciptaan dan pemberian pencipta yang Maha Kuasa, Maha Esa yaitu Allah Subhaanahu Wata’ala? Seharusnyalah kita bertanya kepada-Nya.
Apakah sudah benar yang kita lakukan, kita rasakan, kita pikirkan, baik aktivitas pemenuhan kebutuhan maupun ibadah ritual (sholat, puasa, zakat dan sebagainya). Marilah kita resapi firman-Nya seperti tersebut di atas. Dari firman di atas jelas bahwa manusia dicipta hanya diperintahkan untuk mengabdi kepada Allah.
Berarti semua aktivitas kita, baik pemenuhan kebutuhan amal-amal kita yang bukan ibadah ritual misalnya sikap, ucap, perbuatan keseharian mengurus anak dan suami/mencari nafkah dan ibadah ritual (sholat, puasa dan sebagainya) seharusnya kita niatkan, kita tujukan untuk dalam rangka pengabdian kepada Allah S.W.T.
Lalu bagaimana dalam kenyataan untuk siapakah aktifitas kita? Hati kita masing-masing yang dapat menjawabnya, dan hati kita pula yang dapat menentukan/memilihnya akan mengabdi kepada siapakah kita ini.
· Pengabdi secara utuh dan murni kepada Allah
· Pengabdi kemauan diri yang berarti adalah pengabdian terhadap nafsu
· Pengabdi sesuatu, yaitu aturan makhluq atau
· Pengabdi terhadap posisi, jabatan, kehormatan atau nama
Bila jawaban kita selain dari pengabdian secara utuh dan murni kepada Allah (QS. Al Bayyinah (98) : 5), maka adalah salah dan sia-sia hal ini tersirat dalam hadits Qudsi di bawah ini:
“Kelak pada hari kiamat akan didatangkan beberapa buku yang telah disegel, lalu dihadapkan kepada Allah. (Pada waktu itu) Malaikat berkata: “Demi kekuasaan Engkau, kami tidak melihat di dalamnya kecuali yang baik-baik saja”, selanjutnya Allah berfirman: “Sesungguhnya isinya ini dilakukan bukan karena-Ku, dan Aku sesungguhnya tidak akan menerima kecuali apa-apa yang dilaksanakan karena mencari keridhoan-Ku (HQR. Bazzar dan Thabrani).
Dengan firman Allah dan Hadits di atas jika kita amati gambaran kehidupan dunia ini, laksana seorang berjalan di sebuah jembatan lapuk lagi kecil, dalam kondisi di malam hari gelap tak bercahaya. Jika saja tidak hati-hati dan waspada amat mudahlah bagi kaki untuk tergelincir jatuh ke bawah. sedangkan di bawah jembatan titian tersebut berrawa-rawa tempat bersarang para buaya. Mulut-mulutnya senantiasa menganga terbuka siap menelan mangsa.
Itulah sebenarnya gambaran haqeqat dunia. Akan berlanjut pada kehidupan pengadilan kelak, yaitu meniti sebuah jembatan (shirath). Di bawahnya terdapat api bergolak, lapar menganga siap pula melahap mangsanya.Agar tidak tercebur ke jurang dalam meniti jembatan/shirath kita upayakan sikap dan perbuatan jangan sampai sia-sia dalam melakukan aktivitas keseharian misalnya belajar, bekerja, mengurus rumah tangga dan terlebih lagi ibadah yang bersifat ritual tertuju hanya untuk Allah S.W.T.. Untuk itu seharusnya manusia memurnikan niat dan menyatukan potensi ruh, rasa, hati, aqal dan nafsu untuk Allah S.W T. semata.
Inilah haqeqat kehidupan yang sebenarnya, hanya dengan pertolongan-Nya dan ampunan-Nya semata kita dapat melakukannya.
Penyatuan potensi tersebut hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan kepada Allah S.W.T. dan Rosulullah S.A.W. “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rosul…” (QS. Al Maa’idah (5): 92)
Wahai Allah wahai Robbi kami bertunduk diri
Kian hari kian terasa terbatasnya diri kami
Besar keinginan berbakti lemah kami membakti
Tolonglah kami untuk selaku abdi Ilaahi
Serahkan jiwa raga tanpa komentar sana sini
Hanya terwujud pertolongan-Mu adalah tali
Wahai Allah wahai Robbi pendidik diri hamba
Betapa sulit meletakkan diri selaku hamba
Jika bukan karena pertolongan apakah artinya
Wahai Allah wahai Robbi harapan satu-satunya
Baru disadari, jika kehendak-Mu lebih utama
Ampuni hamba, ingkar berulang ingkar senantiasa
Selamat Datang Sahabat....
Silahkan tinggalkan komentar dan saran
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon