1. Kemiskinan dan Kesejahteraan Rakyat
Selama tahun 2007, kondisi kesejahteraan rakyat secara umum masih memprihatinkan. Jumlah rakyat miskin masih cukup banyak, dan tidak mengalami perubahan secara signifikan meski berbagai usaha telah dilakukan. Malah menurut BPS, jumlah rakyat miskin di tahun 2006 meningkat menjadi 39,05 juta orang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 35 juta orang. Di tahun 2007, meski pemerintah melalui BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin turun menjadi 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia selama periode bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2007, tapi Bank Dunia menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6%. Ini didasarkan pada perhitungan penduduk yang hidup dengan penghasilan di bawah USD 2/hari/orang, dari jumlah penduduk Indonesia 232,9 juta orang pada 2007 dan 236,4 juta orang pada 2008.
Karena itu, penurunan data kemiskinan yang dibuat pemerintah itu layak diragukan banyak kalangan karena tidak ada satu pun argumen yang memuaskan rasional ekonomi, yang dapat menjelaskan mengapa angka kemiskinan bisa dikatakan turun. Apalagi kalau digunakan indikator yang sering dijadikan acuan dalam peningkatan kualitas hidup, yakni bidang-bidang ketenagakerjaan, kesehatan dan gizi, pendidikan dan perumahan, tampak bahwa kesejahteraan rakyat Indonesia memang sangat jauh dari harapan. Di bidang ketenagakerjaan, misalnya, menurut Wakil Sekjen Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryono Darudono, pengangguran di Indonesia yang sekitar 40 jutaan telah menjadi ancaman buat ASEAN, di mana kontribusi Indonesia pada angka pengangguran di wilayah itu mencapai 60%. Di bidang perumahan diperkirakan masih ada 13 juta unit rumah yang tidak layak huni. Permukiman kumuh perkotaan terdapat di ribuan lokasi dengan total luas mencapai 118 ribu hektare, yang dihuni oleh 17,2 juta penduduk. Ini belum termasuk kebutuhan rumah akibat bencana alam seperti tsunami di Aceh dan Pangandaran, serta gempa di Yogyakarta. Selain itu, ada ribuan anak terlantar karena rumah mereka digusur paksa oleh pemerintah atau terkena bencana seperti korban lumpur Lapindo. Pada sektor pendidikan, alokasi anggaran pendidikan yang hanya 11,85 % dari mandat sebesar 20 %, mengindikasikan pemerintah tidak peduli dengan banyaknya anak-anak miskin yang putus sekolah di saat keluarganya terbebani biaya ekonomi yang tinggi. (http://jcsc-indonesia.blogspot.com/2007). Education Watch Indonesia menyatakan bahwa angka siswa putus sekolah di Indonesia mencapai 36,73%.
Dari data-data di atas sebenarnya sangat sulit diterima bahwa telah terjadi penurunan angka kemiskinan. Terlebih lagi masalah utamanya memang bukanlah sekadar naik turunnya jumlah orang miskin, melainkan bahwa negeri ini telah lebih dari 60 tahun merdeka dengan kekayaan alam yang demikian melimpah, tapi mengapa masih ada puluhan juta orang miskin?
Karena itu, apapun standar yang dipakai, kemiskinan tetaplah sesuatu yang kasat mata. Keadaan semakin mengenaskan ketika minyak tanah sempat langka di pasaran, bahkan di beberapa tempat orang harus antri sampai beberapa jam hanya untuk mendapatkan dua liter minyak tanah. Sementara itu, harga beras juga meroket tajam mencapai lebih dari Rp. 5000 per kilogram. Ironi, Indonesia negeri yang subur, setelah lebih 60 tahun merdeka, terpaksa menjadi pengimpor beras dan tidak sedikit rakyatnya kembali harus makan nasi aking atau gaplek karena harga beras tak terjangkau.
Upaya pemerintah mengurangi jumlah rakyat miskin tampaknya kurang membuahkan hasil terbukti jumlah orang miskin masih sangat tinggi. Ada banyak faktor yang menyebabkan, di antaranya karena sektor riil tidak bergerak. Dana masyarakat yang berjumlah lebih dari Rp 210 trilyun ternyata oleh bank-bank yang ada hanya diletakkan di BI melalui instrumen SBI. Akibatnya, bank sentral harus mengeluarkan bunga lebih dari Rp 20 trilyun setahun, satu jumlah yang sangat besar. Meski pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi mencapi lebih 5%, tapi ternyata tiap pertumbuhan 1% tahun ini, menurut laporan Bappenas (2006), hanya membuka 48.000 lapangan kerja. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak selaras dengan pembukaan lapangan kerja. Bila bekerja adalah jalan untuk mendistribusikan kekayaan dan mengurangi kemiskinan, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia telah gagal bekerja sesuai harapan. Inilah yang oleh Paul Grugman (1999) disebut sebagai ekonomi balon (buble economy) akibat praktek bunga dan judi (Maurice Alaise, 1998).
Sementara itu, bukannya mengoptimalkan pendapatan dari aset-aset milik negara dan menghentikan ekonomi ribawi, pemerintah malah berencana meningkatkan kembali utang negara. Terakhir terdengar ada usulan utang yang secara keseluruhan bernilai 35 milyar dollar. Bila benar, dipastikan utang itu akan makin menambah beban. Untuk tahun 2007 ini saja, cicilan dan bunga utang sudah lebih dari 30% besaran APBN, lebih besar dari anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pertahanan secara bersama-sama.
Berbagai upaya pemerintah, mulai program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Askeskin dan Bantuan Tunai Langsung (BLT), yang mulai tahun 2008 diganti dengan Subsidi Tunai Bersyarat, tampaknya tidak akan mampu menyelesaikan problematika kemiskinan dan kesejahteraan rakyat selama pemerintah masih belum mampu menggerakkan sektor riil.
Karena itu, menjadi sangat mendesak untuk menghilangkan segera faktor-faktor yang membuat membengkaknya ekonomi balon dan tidak bergeraknya sektor riil tadi, yakni praktik judi dan ekonomi ribawi. Dalam konteks ekonomi, pelarangan bunga bank (riba) dan judi (dalam bursa saham yang disebut oleh Maurice Alaise sebagai a big casino), dipastikan akan meningkatkan velocity of money, yang pada gilirannya akan melancarkan distribusi kekayaan, karena uang akan selalu menggerakkan aliran barang dan jasa. Kondisi ini bisa dilihat dari produk-produk perbankan dalam Islam yang semuanya terkait dengan aktivitas riil dalam perekonomian, baik melalui akad jual beli maupun bagi hasil, sehingga pertumbuhan uang akan senantiasa diikuti dengan pertumbuhan aliran barang dan jasa.
Problem ekonomi sesungguhnya memang bukan kelangkaan (scarcity) melainkan buruknya distribusi. Fakta menunjukkan, kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang tapi karena uang yang ada tidak sampai kepada orang-orang miskin. Juga bukan karena kelangkaan SDA, tapi disebabkan oleh distribusi SDA yang tidak merata. Sistem ekonomi kapitalis telah membuat 80 % kekayaan alam, misalnya, dikuasai oleh 20 % orang, sedangkan 20% sisanya harus diperebutkan oleh 80 % rakyat.
Salah satu mekansime untuk menjamin distribusi secara merata adalah mengatur masalah kepemilikan. Dalam Islam, barang-barang yang menjadi kebutuhan umum seperti BBM, listrik, air, dan lainnya sesungguhnya adalah milik rakyat yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Penetapan harga barang tersebut, karena semua itu milik rakyat, mestinya didasarkan pada biaya produksi bukan didasarkan pada harga pasar. Kebijakan seperti ini dipercaya akan menghindarkan dari monopoli oleh swasta dan gejolak harga yang disebabkan oleh perubahan harga pasar, seperti yang sekarang terjadi pada minyak bumi, dan pada akhirnya membuat harga barang-barang publik akan sangat murah dan senantiasa stabil. Karena itu, sudah saatnya pemerintah menghentikan privatisasi barang-barang milik umum itu dan mencabut semua undang-undang yang melegalkan penjarahan SDA oleh pihak asing.
Dalam konteks kebutuhan rakyat akan layanan pendidikan dan kesehatan, Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan tersebut. Maka melakukan perubahan paradigama dalam penyusunan APBN untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat agar kebutuhan layanan publik tadi bisa diujudkan menjadi mutlak karenanya.
Selama ini beban subsidi BBM dan listrik sering dituding sebagai penyebab ketidakmampuan APBN dalam meningkatkan layanan publik (public services), seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lainnya. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah adanya kesalahan mendasar dalam paradigma penyusunan APBN, yang menyebabkan APBN tersandera sehingga sulit mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Dari sisi penerimaan, pemerintah dalam sistem ekonomi kapitalis, menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Akibatnya, rakyat akan semakin dibebani pajak, baik secara langsung melalui pajak penghasilan, maupun secara tidak langsung melalui pajak yang dibebankan pada produk oleh produsen kepada konsumen. Sejak tahun 2002, pemerintahan meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70 %, bahkan tahun 2006 sebesar 75, 2 %, sedangkan sisanya dari sumber daya alam. Menurunnya penerimaan negara dari sumber bukan pajak merupakan implikasi dari kebijakan pemerintah yang menyerahkan pengelolaan sumber daya alam ke swasta, khususnya asing. Dengan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik, perusahaan multinasional asing seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freepot, dan lainnya dengan mudah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada, sehingga kontribusi SDA Migas dan Non Migas terhadap APBN makin lama makin kecil. Sementara, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan perkwartal TDL, telepon, dan BBM.
Dari sisi pengeluaran, terdapat alokasi belanja yang sangat kontradiktif, di mana dana pajak yang dipungut dari masyarakat dengan susah payah, yang semestinya dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, ternyata sebagian besar untuk membayar utang yang rata-rata tiap tahun sebesar 25-30 % dari total anggaran. Dalam APBN-P 2007, anggaran belanja subsidi BBM dan lainnya sebesar 105 trilyun, sedangkan pembayaran utang bunga Rp 83,5 trilyun dan cicilan pokok Rp 54,7 trilyun atau total sebesar Rp 138,2 trilyun. Jelaslah bahwa penyebab defisit APBN bukanlah besarnya subsidi melainkan utang yang sebagian besar hanya dinikmati oleh sekelompok kecil, yaitu konglomerat untuk kepentingan restrukturisasi perbankan.
2. Korupsi
Korupsi masih menjadi problem akut buat Indonesia. Korupsi telah merusak sendi-sendi utama kehidupan bernegara, di antaranya membuat kebijakan pemerintah tidak berjalan optimal. Demikian ganasnya korupsi di Indonesia, dana bantuan bencana dan bantuan untuk orang miskin, seperti raskin (beras untuk orang miskin), juga dikorup.
Parahnya korupsi di Indonesia dibuktikan oleh hasil survei terbaru yang dikeluarkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hong Kong, yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia atau sejajar dengan Thailand. Survei yang dilaksanakan pada Januari–Februari 2007 tersebut melibatkan 1.476 pelaku bisnis asing di 13 negara Asia. Hasil polling itu kemudian digunakan untuk membuat peringkat mengenai persepsi terhadap tindakan korupsi dan penanganannya di Asia, menggunakan sistem skor 0-10. Negara yang dinilai bersih dari korupsi mendapat skor 0, sedangkan yang paling buruk mendapat skor 10. Indonesia bersama Thailand menduduki peringkat kedua dengan skor 8,03, setingkat di bawah Filipina yang mendapat nilai 9,40. Bagi Indonesia, hasil ini sedikit lebih baik dari tahun lalu di mana Indonesia mendapat nilai 8,16.
Posisi ini menegaskan bahwa Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara benua Afrika, seperti Togo, Burundi, Etiopia, Republik Afrika Tengah, Zimbabwe, dan negara tetangga, Papua Nugini, yang juga bersama-sama Indonesia menempati urutan 130 dunia. Berarti, pemberantasan korupsi belum mencapai sasaran yang diinginkan.
Sementara itu, menurut laporan Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun dari 2,4 di tahun 2006 menjadi 2,3 di tahun 2007. Artinya, tingkat korupsi di Indonesia meningkat dan masuk ke dalam negara yang dipersepsikan terkorup di dunia .
Dari 180 negara yang disurvei TII, Indonesia menduduki peringkat 143. Skala peringkat IPK mulai dari 1 sampai 10. Semakin besar skor IPK suatu negara, semakin bersih negara tersebut dari tindak pidana korupsi. Sebagian besar responden dalam penentuan peringkat IPK adalah pengusaha yang berhubungan langsung dengan birokrat yang korup.
Penurunan IPK Indonesia, membuktikan korupsi di Indonesia bersifat endemik, sistematik, dan menyebar luas (wide spread). IPK suatu negara meningkat bila ada konsistensi pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun yang terjadi di Indonesia, adalah konsistensi terhadap inkonsistensi pemberantasan tindak pidana korupsi. Perilaku korup birokrat belum berubah, dan penanganannya juga belum membuahkan hasil signifikan.
Di tahun 2007 terlihat ada pejabat atau mantan pejabat yang dimajukan ke pengadilan. Tapi pemberantasan korupsi masih terlihat seperti tebang pilih. Misalnya, sejauh ini belum terlihat para pengemplang BLBI dan para pejabat yang bertanggungjawab yang telah merugikan negara ratusan triliun diadili. Yang terjadi, Mahkamah Konstitusi (MK) justru mencabut beberapa instrumen hukum pemberantasan korupsi. Pertama, dengan membatalkan aspek keadilan material atau hanya mengakui keadilan legal formal. Yang memilukan lagi, MK juga membatalkan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku para hakim. Sementara ide pembuktian terbalik yang diyakini akan sangat efektif menjerat para koruptor, hingga kini juga tidak mendapat respon semestinya dari parlemen.
Korupsi di Indonesia disinyalir kian subur karena bertemunya kepentingan ekonomi dan politik para birokrat, pengurus partai politik, dan pemilik modal, sehingga terjadi negosiasi ekonomi untuk tercapainya tujuan politik. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk mencapai kedudukan politik diperlukan modal besar. Lobi-lobi politik yang bermuara pada kesepakatan ekonomi maupun jabatan politik adalah wajah lain dari tindak korupsi. Secara tegas koran Media Indonesia (08/06/07) menyebut bahwa Pilkada dengan calon dari partai hanya meloloskan calon yang punya uang.
Masyarakat banyak tentu yang paling dirugikan. Dana yang selayaknya untuk keperluan masyarakat, beralih kepada individu koruptor. Setiap tahun, lebih dari US$ 1 triliun (lebih dari Rp 8.000 triliun) habis dibayarkan sebagai uang suap dalam berbagai bentuk, terutama di negara-negara berkembang (Forum Keadilan, No. 41, 26 Februari 2007).
Dalam kurun waktu 2004-2007, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung negara mengalami kerugian hingga Rp 12,2 triliun. Kerugian itu, disebabkan oleh kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara (Tempointeraktif, 23/11/2007).
Perilaku para elit politis pada akhirnya tidak jauh beda dengan seorang investor yang melakukan investasi dalam industri politiknya. Konsekuensinya, dalam masa jabatannya, mereka akan berusaha semaksimal dan sesingkat mungkin untuk mengembalikan dana investasi tersebut. Ini sudah menjadi keniscayaan dalam sistem politik kapitalis. Bahkan arah sistem pemerintahan dengan model ”corporate state” semakin membuktikan fenomena ini. Jika dulu para kapitalis hanya berada di belakang layar aktor politik, sekarang mereka langsung duduk dalam jabatan strategis itu. Dengan jabatan itu, mereka dengan mudah memanfaatkan semua potensi ekonomi daerahnya untuk kepentingan dirinya.
Selain dipicu oleh sistem yang merangsang tindakan koruptif, integritas pribadi yang tidak amanah juga menjadi faktor utama makin meningkatnya tindak korupsi. Sebagus dan sebanyak apa pun aturan yang dikeluarkan untuk memberantas korupsi, jika pelakunya tidak amanah, UU dan aturan yang ada tidak akan pernah efektif. Sejak era reformasi saja telah dibuat 2 TAP MPR, lima UU, lima PP, satu Kepres dan satu Inpres tentang korupsi. Tapi praktik korupsi tetap saja berjalan. Bahkan ada kesan bahwa UU yang ada justru untuk melindungi para koruptor.
Gagalnya penanganan kasus korupsi juga dipicu oleh rendahnya integritas para penegak hukum itu sendiri. Bagaimana mungkin pemberantasan korupsi bisa diharapkan dari pihak yang melakukan, yang memberikan fasiliatas, dan memelihara tindak korupsi itu sendiri?
Yang paling menyakitkan adalah ketika mega korupsi diselesaikan secara politik, seperti dalam kasus BLBI. Majalah GATRA No. 27 thn XIII (17-23 Mei 2007) menulis pernyataan mantan Jaksa Agung, Abdurahman Saleh, yang mengungkapkan bahwa semasa Presiden Megawati dikeluarkan surat keterangan lunas bagi para obligor BLBI. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, kasus BLBI diselesaikan melalui skema master settlement and acquisition agreement (MSAA). Pernyataannya, apakah semua keputusan politik itu diberikan tanpa kompensasi apapun dari para koruptor?
Secara filosofis, dalam Islam jabatan adalah amanah. Rasulullah saw. mengungkapkan bahwa setiap pemimpin layaknya seorang penggembala, yang akan diminta tanggung jawabnya di hadapan Allah atas kepemimpinannya. Dengan pandangan seperti ini, jabatan semestinya tidak dilihat sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan materi. Karena itu, semestinya pula menuju kedudukan politik tidak perlu harus berbekal harta yang besar sebagaimana yang kini terjadi.
Agar tugas bisa dilakukan optimal dan profesional, pejabat negara berhak mendapat santunan yang layak untuk mereka dan keluarganya. Khalifah Abu Bakar, misalnya, diberi harta dari Baitul Mal sebagai santunan dari kompensasi bisnis yang dia tinggalkan ketika menjabat sebagai khalifah.
Apa yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz pada awal pemerintahannya bisa menjadi contoh yang menarik. Al-Laits berkata, tatkala Umar bin Abdul Aziz berkuasa, dia mulai melakukan pembenahan dari kalangan keluarga dan familinya serta membersihkan hal-hal yang tidak beres di lingkaran mereka. Kepada istrinya, Khalifah Umar mengatakan, ”Pilihlah olehmu, engkau mengembalikan harta perhiasan ini ke Baitul Mal atau izinkan aku meninggalkanmu untuk selamanya” (Tarikh al-Khulafaâ, Imam As Suyuthi, hlm. 274).
Lingkungan birokrasi yang demikian akan memudahkan seorang muslim menunjukkan jatidiri keimanannya dalam aktivitas keseharian. Larangan Islam tentang suap, larangan bagi pejabat menerima hadiah, hingga penerapan hukum yang tegas akan menghindarkan para pejabat dari perilaku koruptif.
Terkait dengan larangan menyuap, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. telah menegaskan:
”Allah melaknat penyuap dan penerima suap di dalam kekuasaan” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Tentang hadiah seseorang kepada pejabat negara, Rasulullah saw. menamakannya dengan istilah ghulul atau shut yakni harta haram. Rasulullah saw. bersabda:
”Hadiah yang diterima para penguasa adalah ghulul (harta haram)”. (HR Ahmad dan al-Baihaqi).
Dalam sistem Islam, penegakkan hukum akan efekif karena secara imani para penegak hukum ketika bekerja merasakan sebagai bagian dari ibadah. Dalam masa keemasan Islam, bahkan kesadaran hukum bukan hanya dimiliki oleh para penegak hukum, tapi juga para terpidana. Mereka dengan dorongan keimanan, rela dihukum karena hukuman itu diyakini merupakan penebus (jawabir) atas hukuman di akhirat nanti.
Sudah sepatutnya disadari oleh masyarakat bahwa penerapan syariah adalah prasyarat utama bagi terealisinya solusi dalam menangani masalah korupsi. Atas dasar keimanan dan kokohnya sistem syariah, diyakini bahwa korupsi akan bisa diberantas hingga tuntas.
3. Kusamnya perpolitikan Indonesia
Kusamnya perpolitikan Indonesia ditandai oleh menurunnya kepercayaan rakyat kepada seluruh lembaga baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Intinya, wakil rakyat dinilai tidak mencerminkan kehendak rakyat. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia tentang representasi aspirasi, menunjukkan ada kesenjangan yang cukup besar antara aspirasi pemilih dengan sikap dan tindakan partai politik. Sebanyak 65 % publik menyatakan bahwa partai politik tidak merepresentasi aspirasi mereka untuk berbagai isu publik. Hanya sekitar 35% aspirasi pemilih yang dipersepsikan terwakili oleh sikap dan perilaku tujuh partai politik besar. Rakyat menilai anggota legislatif tampak lebih mementingkan dirinya dan partainya daripada rakyat. Hal ini tercermin, di saat rakyat harus antri untuk mendapatkan minyak, kesulitan mendapatkan beras murah dan berbagai kesulitan hidup lainnya, anggota DPR malah membuang-buang uang untuk alasan studi banding, tuntutan tambahan uang representasi, renovasi rumah dan sebagainya.
Kepercayaan rakyat pada eksekutif juga menurun. Lembaga Survei Indonesia menemukan bahwa kepuasan publik terhadap pemerintah dalam 3 tahun terakhir terus menurun dari 80% di bulan November 2004 hingga menjadi 54% di bulan Oktober 2007. Sentimen elektoral terhadap presiden SBY juga turun dari sebesar 47% pada Oktober 2006 menjadi 33% pada Oktober 2007. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang semula diharapkan akan lebih aspiratif, ternyata tidak. Pilkada dengan calon dari partai pada kenyataannya hanya meloloskan calon yang punya uang. Dalam jajak pendapat Kompas diketahui praktik politik uang dalam proses pencalonan dalam pilkada sangat parah (53,5%), ketidakyakinan kepala daerah mampu memberantas korupsi (66,6%), calon kepala daerah tidak bebas dari politik uang (73,8%). Ini sebagai bukti lagi, 'pesta demokrasi' hanyalah industri politik. Hakikat demokrasi adalah pemerintahan atas dasar uang.
Kepercayaan rakyat pada lembaga peradilan juga kurang lebih sama. Hasil suvei Litbang Media Group menyatakan kinerja hakim agung di MA tidak memuaskan (71%), korupsi di MA makin meningkat (54%), pemberantasan korupsi di MA tidak sungguh2 (78%), peradilan di Indonesia dikuasai mafia peradilan (73%). Laporan TII menempatkan peradilan sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Empat dari sepuluh kasus di Indonesia harus menyuap demi memperoleh keadilan. Pengadilan dipersepsikan meminta suap hingga 100%, bea cukai 95 %, imigrasi 90%, polisi 78%, pajak 76%.
4. Ancaman Disintegrasi
Selain kusamnya perpolitikan, Indonesia juga terus diancam disintegrasi. Hal ini tampak saat bendera Republik Maluku Selatan (RMS) berkibar di depan Presiden di Maluku. Begitu juga, bendera Bintang Kejora muncul dalam Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua. Ribuan orang hadir berteriak 'Merdeka ...!'
Masalah disintegrasi sejatinya dilihat dari tiga sisi. Pertama, kezhaliman dan ketidakadilan penguasa. Kini, mayoritas rakyat hidup dalam himpitan berbagai kesulitan. Otonomi daerah hanya mengalihkan korupsi dari pusat ke daerah. Kedua, ketika rakyat merasa diperlakukan tidak adil, bertemulah dengan gagasan HAM, kebebasan, otonomi daerah, dan lain-lain yang dipandang sebagai penyelamat. Ketiga, adanya tangan-tangan asing yang ingin memecah belah Indonesia.
Isu disintegrasi ini memang tidak lepas dari tekanan luar. Misalnya, Ketua subkomite Asia Pasifik Kongres AS, Eni Faleomavaega, saat di Jakarta mengatakan: "Saya memang pernah katakan, kalau pemerintah Indonesia tidak bisa perlakukan Papua secara layak, berikanlah kemerdekaan. Saya tidak mengingkarinya" (5/7/07). Di antara isu yang diusung untuk mendukung disintegrasi adalah masalah HAM. Pada bulan Juli 2007, AS mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia terkait lambannya proses reformasi TNI dan penuntasan kasus HAM di Timtim pada tahun 1999. Utusan khusus Sekjen PBB urusan HAM, Hina Jilani, datang ke Aceh dan Papua, seraya mengatakan: "Saya tunggu reaksi pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM" (15/6/07). PBB pun mengirimkn 'pelapor khusus', Manfred Nowak, ke Indonesia untuk meneliti masalah yang berkaitan degan 'penyiksaan, kekejaman, perlakuan tidak manusiawi, merendahkan hukuman'. Rekomendasinya dilaporkan ke Dewan HAM PBB. Sampai sekarang ia telah mengeluarkan 13 ’rekomendasi’.
5. Intervensi Asing
Sepanjang tahun 2007 ini kita merasakan derasnya arus intervensi asing, khususnya yang dilakukan oleh negara-negara adidaya seperti AS dan Inggris. Tentu itu semua bisa terjadi karena kita lemah dan mau diintervensi baik di lapangan ekonomi maupun politik. Di bidang politik di antaranya bertujuan untuk menjaga agar Indonesia tetap dikuasai oleh kekuatan politik yang sealiran dengan kepentingan AS.
Pada Jumat 27 April 2007 pemerintah Indonesia telah menandatangani perundingan kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) dengan Singapura. Perjanjian ini memberikan hak latih bagi militer Singapura di wilayah Indonesia yang membentang antara Pulau Natuna Besar dan Kepulauan Anambas. DCA pun segera menuai reaksi keras termasuk dari anggota DPR. Meskipun kemudian nasib DCA belum jelas, namun sikap pemerintah ini sungguh mengherankan. Sebab jelas DCA ini mengancam ketahanan nasional Indonesia.
Apalagi dalam penggunaan wilayah latihan itu (laut dan udara), Singapura bisa mengikutsertakan pihak ketiga, meski dengan terlebih dulu meminta izin Indonesia. Masalahnya, jika pihak ketiga itu adalah AS yang memang telah lama ingin berperan di wilayah ini, dengan posisi pemerintah Indonesia yang terbukti sangat lemah bahkan tidak berdaya terhadap tekanan AS, sehingga tidak kuasa menolak permintaan itu, maka perjanjian itu praktis akan menjadi alat legitimasi masuknya militer AS ke wilayah Indonesia dengan kedok latihan militer bersama.
Telah lama diketahui, bahwa AS memiliki ambisi politik di kawasan Asia Tenggara. Berbagai upaya telah dilakukan AS. Di antaranya, pernah menawarkan diri untuk membangun pangkalan militer di kawasan Thailand Selatan dengan dalih ingin membantu menghancurkan gerakan militan Islam yang makin intens melakukan gerakan di wilayah Pattani yang memang didominasi muslim. Upaya AS untuk menghadirkan armada militer di kawasan itu tentu saja merupakan bagian dari grand strategy AS untuk mengontrol kawasan Asia Tenggara yang memang sangat strategis baik secara militer, politik, maupun ekonomi.
6. Aliran Sesat
Setelah Lia Eden dan Ahmadiyah, pada tahun 2007 umat Islam Indonesia dikejutkan dengan munculnya aliran baru bernama al Qiyadah al Islamiyyah, di mana pemimpinnya, Ahmad Mossadeq, mengaku sebagai nabi. Aliran ini meyakini Mossadeq menerima wahyu kemudian dituangkan dalam buku “Ruhul Qudus yang Turun kepada Al-Masih Al-Maw’ud”. Edisi pertama buku ini diterbitkan pada Februari 2007. Jadi, baru saja ‘diturunkan’. Ajaran dari aliran ini hendak menyatukan Islam, Yahudi, dan Kristen. Mereka menamainya dengan millah Ibrahim, dan meyakini bahwa agama yang diridloi Allah itu bukan Islam melainkan agama Hanafiyah, yakni millah Ibrahim tadi. Bahkan dalam buku “Al-Masih Al-maw’ud dan Ruhul Qudus dalam Perspektif Taurat, Injil, dan Al-Quran” yang juga dipandang hasil bimbingan roh kudus, salah satu bagiannya mereka nyatakan ditulis oleh seorang Kristolog yang menggali sumber-sumbernya dari Bibel. Wajar, kalau hasilnya adalah sinkretisme antar tiga agama. Sekalipun mengingkari dan banyak menakwilkan al-Quran, menolak isi al-Quran, dan mengingkari sorga dan sebagainya, anehnya Mossadeq mengklaim diutus sebagai al-Masih al-Maw’ud untuk mengantarkan manusia kepada maqomam mahmuda, yang dia sebut sebagai khilafah.
Aliran yang telah dinyatakan sesat oleh MUI ini, akhirnya oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran dan Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang terdiri dari unsur Depag, TNI, MUI, Polri dan BIN resmi dinyatakan dilarang.
Keputusan Bakorpakem ini juga menepis seruan segelintir aktivis yang menyebut diri pembela HAM, agar pemerintah tidak melarang aliran semacam ini karena ekspresi keagamaan dan keyakinan merupakan hak asasi setiap manusia. Alasan semacam ini tentu sangat paradoksal. Maksudnya, bila mereka gigih membela aliran sesat dengan alasan hak asasi, mengapa mereka tidak membela hak asasi muslim yang lain untuk mempertahankan kemurnian ajaran Islam dari tindakan penodaan semacam ini? Apakah hanya mereka yang perlu dibela, sementara yang lain tidak? Karenanya, perspektif HAM semacam ini dalam menilai aliran sesat (termasuk aliran Ahmadiyah dan lainnya), sesungguhnya bukanlah cara pandang yang konstruktif apalagi solutif. Ini cara pandang liar yang secara pasti akan menimbulkan keonaran di segala bidang, karena orang boleh merusak apa saja dengan alasan hak asasi. Mestinya, harus didudukkan lebih dulu, apa atau mana yang benar dan mana yang salah. Untuk itu tentu diperlukan tolok ukur. Dalam konteks ajaran atau aliran dalam Islam, tentu tidak lain adalah al-Quran dan Sunnah. Maka, siapa atau apa saja yang bertentangan dengan pedoman ini harus dinyatakan salah dan tidak boleh berkembang dengan alasan apa pun. Bila kita ingin tetap menggunakan perspektif HAM, maka pelarangan itu tidak lain adalah dalam rangka melindungi hak asasi agama Islam dari segala jenis penodaan.
Meski agak sedikit lambat, keputusan Bakorpakem di atas tentu sangat tepat karena setiap kemungkaran memang harus segera dihentikan. Dan yang paling memiliki otoritas untuk melakukan hal itu dengan seluruh kewenangannnya tidak lain tentu saja adalah pemerintah. Pemerintah memang semestinya memainkan peranannya dalam membina dan melindungi akidah umat. Karena, dalam perspektif Islam, salah satu tugas utama pemerintah adalah membina, menjaga dan melindungi aqidah umat dari segala bentuk penyimpangan, pendangkalan dan pengkaburan serta penodaan.
Karena itu, tindakan tegas Bakorpakem diharapkan tidak berhenti hanya pada kasus al Qiyadah al Islamiyyah tapi juga pada seluruh aliran sesat yang saat ini masih merajalela di tengah masyarakat, seperti Ahmadiyah, Lia Eden, dan lainnya. Mestinya, aliran-aliran sesat itu juga harus segera dilarang. Hanya dengan cara itu saja maka kita bisa mengatakan bahwa pemerintah memang sedang benar-benar melindungi Islam dan umatnya dari rongrongan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dari penyimpangan akidah dan syariah, baik karena motiv politik, ekonomi, atau yang lain. Tapi bila pemerintah hanya bersikap tegas kepada al Qiyadah al Islamiyyah tapi tidak kepada aliran sesat yang lain, maka tidak salah bila di tengah umat muncul anggapan bahwa pemerintah melakukan tebang pilih dalam pelarangan aliran sesat itu.
7. Konferensi Khilafah Internasional (KKI) 2007
Meski dihadang dengan berbagai rintangan, Konferensi Khifalah Internasional (KKI) yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus, bertepatan dengan 28 Rajab lalu, berlangsung dengan sangat sukses. Lebih dari 100 ribu peserta dari seluruh pelosok Indonesia dengan beragam latar belakang, bahkan juga dari sejumlah negara, hadir memenuhi setiap kursi yang tersedia di Gelora Bung Karno. Seluruh rangkaian acara mengalir lancar. Tiga pembicara dari luar negeri masing-masing Prof. Dr. Hassan Ko Nakata (guru besar Doshisha University, Kyoto/Presiden Asosiasi Muslim Jepang), Dr. Salim Atcha (Hizbut Tahrir Inggris) dan Syekh Usman Abu Khalil (Hizbut Tahrir Sudan) menyampaikan materi dalam konferensi, dilengkapi oleh lima pembicara dari dalam negeri yakni Prof. Dr. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah/Wakil Ketua Umum MUI), Aa Gym (PP Darut Tauhid Bandung), KH. Amrullah Ahmad (Ketua Umum Syarikat Islam) dan Tuan Guru Turmudzi (Syuriah NU NTB) serta KH. Tohlon (MUI Sumsel). Diawali dengan sambutan selamat datang oleh Jubir HTI, M. Ismail Yusanto, diakhiri dengan doa oleh Arifin Ilham.
Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa konferensi akan berubah menjadi gerakan politik yang akan memicu anarkisme massa tidaklah terbukti, karena acara tersebut memang tidak dimaksudkan untuk hal itu. Dari awal hingga akhir, seluruh peserta mengikuti acara dengan tertib. Dalam sambutan selamat datang, Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia menegaskan bahwa KKI dilaksanakan semata sebagai medium untuk meneguhkan komitmen umat Islam terhadap perjuangan penegakan syariah dan khilafah; bukan sebagai ajang deklarasi partai apalagi deklarasi khilafah. Juga bukan sebagai aksi untuk unjuk kekuatan atau kebesaran.
Khilafah adalah sistem politik Islam untuk menerapkan syariah Islam dan menyatukan umat Islam seluruh dunia. Dalam sejarahnya yang membentang lebih dari 1400 tahun, khilafah, atau sulthan, atau imam (tiga istilah yang mengandung pengertian yang sama) dengan segala dinamikanya termasuk dengan kelemahan dan kekurangannya, secara praktis telah berhasil menyatukan umat Islam seluruh dunia dan menerapkan syariah Islam, sedemikian sehingga kerahmatan Islam yang dijanjikan benar-benar dapat diujudkan.
Dr. Ali Muhammad al-Shalabi dalam kitab al-Daulah al-Utsmaniyah, ‘Awamilu al-Nuhud wa Asbabu al-Suqut menggambarkan dengan sangat jelas peran kekhilafahan ini dalam melanjutkan kegemilangan peradaban Islam yang telah dibangun oleh para khulafa sebelumnya. Tak aneh bila Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis: Empirium Utsmani, dia lebih dari sekadar mesin militer, dia telah menjadi penakluk elit yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas dari yang dimiliki oleh Empirum Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar. Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, dunia Islam telah jauh melampui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota diantaranya memiliki universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum muslim selalu berada di depan”
Maka, tepat sekali bila Imam Ghazali dalam kitab al Iqtishad fi al I’tiqad menggambarkan eratnya hubungan antara syariah dan khilafah bagaikan dua sisi mata uang, dengan menyatakan ”al dinu ussun wa al-shultanu harisun – agama adalah tiang dan kekuasaan adalah penjaga”. ”Wa ma la ussa lahu fa mahdumun wa ma la harisa lahu fa dha’i – apa saja yang tidak ada asasnya akan roboh dan apa saja yang tidak ada penjaganya akan hilang”
Tapi, pada tanggal 28 Rajab 1342 H, 86 tahun lalu, sejarah khilafah berakhir. Adalah Kemal Pasha, politisi keturunan Yahudi dengan dukungan pemerintahan Inggris, secara resmi meng-abolish (menghapuskan) kekhilafahan yang waktu itu berpusat di Turki. Dengan hancurnya payung dunia Islam itu, umat Islam hidup bagaikan anak ayam kehilangan induk, tak punya rumah pula. Maka, tak berlebihan kiranya bila para ulama menyebut hancurnya khilafah sebagai ummul jaraaim (induk dari segala kejahatan) karena memang semenjak itu dunia Islam terus didera berbagai krisis. Umat Islam mengalami kemunduran luar biasa di segala bidang kehidupan, baik di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik maupun sains dan teknologi. Yang tampak kini hanyalah sisa-sisa kejayaan Islam di masa lalu.
Reaksi pro dan kontra memang mengiringi acara konferensi ini, baik sebelum maupun sesudahnya. Yang pro mengatakan bahwa khilafah disamping memang merupakan ajaran Islam dan pernah terujud dalam kurun waktu yang sangat panjang di masa lalu, juga diperlukan untuk menerapkan syariah Islam dan menyatukan umat Islam se dunia yang kini terpecah belah. Lagi pula, khilafah bukanlah barang baru untuk Indonesia. Sejarah dakwah Islam di Indonesia adalah sejarah peran khilafah dalam menyebarkan Islam di negeri ini baik melalui para sultan atau para pendakwah. Sebagian walisongo adalah utusan langsung para khalifah. Sementara, yang kontra mengatakan bahwa ide khilafah bertentangan dengan pluralitas dan tidak sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Menurut HTI, penyelenggaraan KKI dan dakwah HTI secara umum dilakukan tidak lain adalah demi Indonesia ke depan yang lebih baik. Dalam pandangan HTI, problem rakyat, bangsa dan negara ini khususnya, dan umat Islam di seluruh dunia pada umumnya dipicu oleh sistem sekuleristik dan terpecah belahnya umat Islam. Indonesia diyakini akan bisa meraih kemuliaan bila kepadanya diterapkan syariah sebagai ganti dari sekularisme yang telah terbukti gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, dan umat bersatu kembali di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Inilah dua substansi penting dari ide khilafah yakni untuk tegaknya syariah dan terwujudnya ukhuwah. Bila hancurnya khlafah disebut sebagai ummul jaraaim, maka diyakini bahwa tegaknya kembali syariah dan khilafah akan menjadi pangkal segala kebaikan, kerahmatan dan kemashlahatan, termasuk bagi Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, ide khilafah sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan baru (neo-kolonialisme) yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini oleh negara besar. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Karena itu pula, konferensi ini bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.
Mengenai nilai-nilai kebangsaan, bila yang dimaksud adalah komitmen kepada keutuhan wilayah, HTI berulang menegaskan penentangannya terhadap gerakan separatisme dan segala upaya yang akan memecah belah wilayah Indonesia. Bila nilai kebangsaan artinya adalah pembelaan terhadap kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, HTI berulang juga dengan lantang menentang sejumlah kebijakan yang jelas-jelas bakal merugikan rakyat Indonesia seperti protes terhadap pengelolaan SDA yang lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing; atau penolakan terhadap sejumlah UU seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal dan sebagainya yang sarat dengan kepentingan pemilik modal. Karena itu, salah besar bila menuduh HTI dengan KKI itu tidak peduli kepada nilai-nilai kebangsaan. Tapi bila nilai kebangsaan artinya adalah kesetiaan kepada sekularisme, maka dengan tegas HTI menolak, karena justru sekularisme inilah yang telah terbukti mempurukkan Indonesia seperti sekarang ini. Maka, benar sekali fatwa MUI tahun 2005 yang mengharamkan sekularisme.
Sementara itu, penentangan terhadap ide khilafah bukanlah hal baru. Dalam pidatonya di acara peringatan 50 tahun Islamic Center Washington, Bush mengatakan, prinsip-prinsip kebebasan beragama makin berkembang ke seluruh dunia, namun bersamaan dengan itu, muncul kelompok-kelompok "ekstrimis" di Timur Tengah. Kelompok "ekstrimis" inilah yang menurut Bush musuh umat Islam yang sebenarnya. Untuk itu, sambung Bush, para pemuka umat Islam harus didorong agar lebih bersuara keras mengecam kelompok-kelompok radikal yang menyusup ke masjid-masjid, serta mengecam organisasi-organisasi yang mengatas namakan Islam, mendukung dan membiayai aksi-aksi kekerasan. (Eramuslim.com, 28 Juni 2007).
Terkait masalah ini, Presiden AS George W. Bush berkata: “They hope to establish a violent political utopia across the Middle East, which they call caliphate, where all would be ruled according to their hateful ideology. This caliphate would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East and Southeast Asia. America and our coalition partners have made our choice. We're taking the words of the enemy seriously. We're on the offensive. We will not rest. We will not retreat. And we will not withdraw from the fight until this threat to civilization has been removed. We're taking the side of democratic leaders and moderates and reformers across the Middle East. We strongly support the voices of tolerance and moderation in the Muslim world” (Sumber: CQ Transcriptions © 2006, Congressional Quarterly Inc., 5 September 2006, All Rights Reserved).
Dalam pesan mingguan bagi rakyat AS dalam radio pada 9 September 2006, Presiden AS George W. Bush menyampaikan hal serupa. Lebih jauh, Bush menyatakan, ”America still faces determined enemies. And in the long run, defeating these enemies requires more than improved security at home and military action abroad. We must also offer a hopeful alternative to the terrorists' hateful ideology. So America is taking the side of democratic leaders and reformers and supporting the voices of tolerance and moderation across the Middle East. By advancing freedom and democracy as the great alternative to repression and radicalism, and by supporting young democracies like Iraq, we are helping to bring a brighter future to this region -- and that will make America and the world more secure”. (Distributed by the Bureau of International Information Programs, U.S. Department of State. Web site: http://usinfo.state.gov/, 09 September 2006).
Kontroversi dan upaya penentangan terhadap ide khilafah akan berlangsung terus. Sampai kapan? Tentu hingga syariah dan khilafah telah benar-benar tegak. Saat itulah semua kebenaran akan terbukti. Dan berhenti pula segala ocehan para penentangnya.
8. Isu Pemanasan Global
Tanggal 3 hingga 14 Desember 2007 berlangsung konvensi/Pertemuan antar Pihak (Conference of Parties / Meeting of Parties) tingkat tinggi di Bali yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pertemuan ini diharapkan dapat mengevaluasi Protokol Kyoto yang dibuat tahun 1997, yang ditandatangani untuk mengurangi kadar CO2 guna mencegah pemanasan global. Tentu saja, upaya mencegah pemanasan global harus dilakukan. Namun, ada beberapa hal yang penting menjadi catatan.
Pertama, hingga saat ini dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol Kyoto. Namun isu yang saat ini beredar, bahwa sumber gas rumah kaca ini justru dikatakan berasal dari dunia Islam; yaitu akibat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali karena penolakan terhadap program Keluarga Berencana (KB). Padahal faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia. Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%. Negara-negara besar yang menjadikan dunia ini makin panas, tetapi mereka, khususnya AS, justru berlepas tangan. Pada satu sisi pemanasan global harus dikurangi, pada sisi lain kecongkakan dan ketidakadilan negara besar harus dihentikan.
Kedua, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon terus digalakkan. Namun, hutan diserahkan kepada swasta. Penebangan hutan terus dilakukan. Ilegal logging pun tak kunjung selesai. Dalam 12 tahun saja (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau sekitar 10 hektar per menit! Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola lenyap setiap menit! Ini akibat sistem kapitalisme yang tidak mengenal hutan sebagai milik umum.
9. Pendidikan
Pendidikan sedang dikapitalisasi dan diliberalisasi. Pembahasan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah selesai dan siap diujipublikan akhir 2007. Privatisasi pendidikan melalui BHMN/BHP membawa konsekuensi berupa pengelolalan lembaga/instansi pendidikan yang lebih otonom. Jika sebelumnya pengelolaan lembaga/instansi pendidikan khususnya negeri didominasi oleh pemerintah, maka dengan adanya privatisasi lembaga/instansi pendidikan memiliki kewenangan yang lebih dalam mengelola lembaganya.
Anggaran pendidikan yang ditetapkan 20%, pada 2007 hanya Rp 90.10 triliun (11.8% dari APBN). Kini, peran pemerintah dalam pendidikan terus dikurangi, termasuk masalah dana. Konsekuensinya dana diambil dari masyarakat (SPP dan non-SPP). Sebagai contoh, ITB tahun 2007 butuh Rp 392 miliar, untuk itu diberlakukan SPP reguler 2006/2007 Rp 3.25 juta/semester; Sekolah Bisnis Manajemen dikenakan Rp 625.000,00/SKS. Fakultas Kedokteran salah satu PT di Jawa memungut Rp250 juta – 1 milyar. Kalau ini terus berlanjut maka orang miskin ’dilarang sekolah’. Kapitalisasi dan liberalisasi ini berlaku mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Kalaupun diterapkan subsidi silang, berapa banyak orang ‘kaya’ yang dapat menanggung? Bukankah ini sebuah diskriminasi? Prakteknya, tidak menunjukkan hal tersebut. Ketika dana dari pemerintah minim, kampus dijadikan alat untuk menghasilkan uang, atau dana berasal dari pinjaman asing. Akibatnya, terjadi ketergantungan dana pada pihak asing, khususnya Bank Dunia dan ADB. Hal ini menciptakan ‘penjajahan’ kurikulum, kultur, dan isi otak. Akibatnya, rakyat menjadi kuli di negerinya sendiri.
Sejatinya, pendidikan gratis untuk semua. Kurikulum berbasis pada kultur/tsqafah yang sesuai dengan Islam; sains dan teknologi disesuaikan dengan perkembangan; otonomi dilakukan dalam administrasi, pendidikan dan research oleh satuan pendidikan untuk meningkatkan kualitas, dan untuk mewujudkan akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, non-diskriminasi, dan lain-lain dilaksanakan tanpa perlu kapitalisasi atau komersialisasi.
10. Luar Negeri
Sementara itu, politik luar negeri Indonesia sepanjang tahun 2007 semakin meninggalkan prinsip ‘bebas dan aktif’. Beberapa kebijakan luar negeri yang diambil justru semakin menunjukkan Indonesia lebih berkiblat pada kepentingan Barat terutama AS dan sekutunya. Sikap untuk tidak bertentangan dengan kepentingan AS pun tampak menonjol dalam polugri Indonesia. Idealisme seperti anti penjajahan, anti ketidakadilan dan kedzaliman dalam polugri Indonesia kemudian hanya sekedar retorika. Ironisnya, polugri Indonesia yang seharusnya untuk kepentingan rakyat Indonesia, dalam banyak hal malah merugikan Indonesia.
Dukungan Indonesia terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1747 yang memberikan sanksi terhadap Iran misalnya, menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia tunduk pada tekanan AS. Hal ini secara gamblang dinyatakan oleh Juru Bicara Bush, Tony Snow, dalam pernyataan pers (19/03/2007) menjelaskan bahwa SBY dan Bush telah berdiskusi tentang kebijakan resolusi Dewan Keamanan PBB, termasuk di dalamnya soal draf resolusi nuklir Iran (http://www.whitehouse.gov/).
Penjajahan AS atas Irak.
Medio tahun 2007 lalu genap 4 tahun AS menjajah Irak. Dan selama 4 tahun itu, menurut penelitian John Hopkins University, hampir 1 juta rakyat sipil tewas. Irak sekarang bagaikan negeri tak bertuan dengan seluruh infrastruktur yang nyaris hancur total. Pemerintahan boneka AS terbukti tidak efektif. Setiap hari terjadi kekerasan, bahkan kini ekskalasi bentrok antar sekte meningkat. Pertanyaannya, inikah hasil yang dimaui oleh AS dan sekutu-sekutunya ketika empat tahun lalu mereka menyerbu Irak? Bila alasan senjata pemusnah massal telah diakui salah, lantas atas alasan apa mereka melakukan itu semua? Dan apa balasan buat kekeliruan itu? Bila Imam Samudra mendapat hukuman mati atas tindakan membom sepenggal jalan di Legian - Bali, lantas apa hukuman yang pantas buat Bush dan Blair atas tindakan mereka menghancurkan Irak?
Palestina
Penjajahan atas Palestina masih terus berlangsung. Kedatangan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas ke Indonesia Senin (22/10/07), tidak bisa dilepaskan dari kerangka kebijakan AS. Tujuannya adalah untuk meminta dukungan pemerintah dalam konferensi di Annapolis yang disponsori Amerika Serikat, November 2007 lalu. Konferensi itu sarat dengan kepentingan AS dan Israel, tampak dari tidak dilibatkannya Hamas. Padahal Hamas mendapat dukungan yang luas rakyat Palestina.
Abbas dan negara Barat memang saat ini sedang ’menyingkirkan’ Hamas. Kunjungan Abbas ke Indonesia merupakan kunjungan otoritas Palestina minus Hamas. Kesediaan Indonesia hadir dalam konferensi Annapolis mengundang kecaman dari Pimpinan Hamas di Jalur Gaza, Mahmud Zahar, ”Saya sangat kecewa pada pemerintah Indonesia yang telah mengkhianati rakyat Palestina”, ujarnya. Semua ini makin mempertegas bahwa Indonesia pro AS dan Israel.
Sementara itu, Indonesia malah secara diam-diam menjalin hubungan baik dengan Israel yang merupakan ‘anak emas’ AS. Sudah terjalinnya hubungan baik ini secara terbuka diakui Shimon Peres (Presiden Israel) menyatakan, bahwa underground relations (hubungan bawah tanah) Indonesia dengan Israel telah terbangun lama. “Kami punya hubungan baik dengan Mesir, Jordania, Turki dan juga Indonesia,” ujarnya. (Jawa Pos, 4/11/2007).
Karenanya bisa dimengerti bila pemerintah Indonesia tidak tegas menolak rencana kedatangan delegasi anggota parlemen (Knesset) Israel akan datang ke Indonesia, tepatnya di Bali, untuk menghadiri pertemuan Inter Parliamentary Union (IPU) yang diselenggarakan 29 April - 4 Mei 2007 lalu. Meskipun kemudian delegasi Israel tidak hadir, sikap pemerintah yang tidak tegas ini membuktikan bahwa sikap anti penjajahan hanya retorika.
Pemerintah juga membiarkan Yahudi Israel bergerak di Indonesia. Antara lain kehadiran American Jewish World Service (AJWS) di Aceh. Selain itu, telah datang utusan Israel menyampaikan ketertarikannya untuk memasuki bisnis kilang minyak dan bahan bakar nabati di Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pada akhir Agustus lalu (Republika, 7/9/2007). Rencana investasi oleh Merhavv Group dari Israel ini senilai 700 juta dolar AS atau sekitar Rp 6 triliun.
War on Terrorism
Polugri Indonesia yang berkiblat ke Barat juga tampak dalam sikap Indonesia yang mengekor begitu saja dalam program perang melawan terorisme AS. Padahal semakin jelas bahwa ini tidak lain untuk memerangi Islam dan umat Islam. Sebagaimana telah banyak dipahami, perang terhadap terorisme ini adalah salah satu cara baru AS dan sekutunya untuk menjaga dominasinya atas dunia, khususnya Dunia Islam, setelah musuh utama mereka, yakni komunisme, berhasil diruntuhkan.
AS memuji Indonesia yang dinilai berhasil menangkapi dan membawa ke meja hijau mereka yang dituduh melakukan aksi terorisme. “Indonesia terus menjadi mitra yang kuat dan efektif dalam perang melawan teror dengan menangkap dan mengadili sejumlah pemimpin tuduhan teroris utama dalam tahun-tahun terakhir ini. Kami akan terus berkerjasama dengan Indonesia untuk mendukung kemampuan memerangituduhan terorisme,” kata salah satu juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Edgar Vazquez, di Washington DC, dikutip Antara Kamis (14/6).
Lebih dari itu, AS melalui kantor keamanan diplomatiknya memberikan bantuan kepada Indonesia dalam upaya memerangi terorisme melalui program pelatihan bagi para anggota Polri dalam meningkatkan kemampuannya mencegah dan melakukan investigasi terhadap serangan teroris. Kemampuan tersebut antara lain mencakup penyelidikan insiden pemboman, pendeteksian bom, serta menangkal kejahatan melalui jaringan komputer.
Dari segi dana, menurut catatan tahun 2006, Amerika Serikat membantu Indonesia sebesar 4,8 juta dolar AS (sekitar Rp 43,5 miliar). “Untuk tahun fiskal yang sekarang (2007) belum diketahui berapa jumlah bantuan yang akan diberikan untuk Indonesia, entah lebih rendah atau lebih tinggi. Tapi saya kira, tidak akan berkisar jauh dari yang sebelumnya (4,8 juta dollar),” kata seorang pejabat Deplu AS dikutip Antara, Kamis. (Hidayatullah.com, 15/6).
Khatimah
Selain hal-hal penting di atas, sepanjang tahun 2007 negeri yang oleh para pujangga dahulu disebut zamrud khatulistiwa juga tetap diwarnai oleh banyak sekali bencana berupa gempa, kebakaran, banjir dan longsong. Bencana tersebut juga menyisakan sebuah ironi. Yaitu bila diyakini bahwa segala bencana itu disamping karena faktor manusia, yang utama adalah karena qudrah (kekuatan) dan iradah (kehendak) Allah SWT dan karenanya kita sering diajak berdoa agar terhindar dari segala bencana, tapi mengapa pada saat yang sama kita tidak juga mau tunduk dan taat kepada Allah dalam kehidupan kita. Buktinya hingga kini masih sangat banyak larangan Allah (zina, riba, judi, pornografi, kedzaliman, ketidakadilan, korupsi dan sebagainya) masih juga dilanggar, dan masih sangat banyak kewajiban Allah (penerapan syariah, zakat, hukuman, shalat, haji, dan sebagainya) yang tidak dilaksanakan. Pertanyaannya, perlukah ada bencana yang lebih besar lagi untuk menyadarkan kita agar segera tunduk dan taat kepada Allah, bukan sekedar mengakui kekuasaan dan kekuatanNya dalam setiap bencana?
Berkenaan dengan kenyataan di atas :
1. Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2007 dapat disimpulkan ada tiga faktor utama di belakangnya, yakni alam, sistem dan manusia termasuk kepemimpinan. Gempa bumi, gunung meletus, banjir, longsor dan bentuk bencana lainnya adalah sunnatullah yang terjadi atas qudrah dan iradah Allah. Menghadapi bencana semacam ini, kita hanya bisa bersabar sambil berdoa agar tidak terjadi lagi di masa datang serta berusaha agar bila terjadi lagi tidak menimbulkan kerusakan dan korban yang besar.
2. Sementara, kemiskinan, korupsi, intervensi asing dan berbagai bentuk kedzaliman sepenuhnya terjadi karena pilihan manusia dalam menata berbagai aspek kehidupan. Pemimpin yang tidak amanah dan sistem yang buruk, yakni sistem Kapitalisme dan Sekularisme ditambah lemahnya moralitas individu telah terbukti menjadi pangkal munculnya persoalan di atas. Karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Allah dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu.
3. Di sinilah esensi seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah. Karena hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh orang amanah saja Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Dengan sistem ini pula terdapat nilai transedental dalam setiap aktifitas sehari-hari yang akan membentengi setiap orang agar bekerja ikhlas, tidak terkontaminasi oleh kepentingan pribadi, golongan maupun asing. Memiliki paradigma yang jelas bahwa memimpin adalah amanah dari Allah dan syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan, mengentaskan kemiskinan, menghindari korupsi, menolak intervensi, menghapus pornografi dan pornoaksi, serta mewujudkan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi. Insya Allah
1 Tinggalkan Komentar disini...:
Click here for Tinggalkan Komentar disini...hai....
saya sudah link ke blog ini blog life insurance di:
http://1st-lifeinsurance.blogspot.com,
mohon di cek dan link baliknya.
terimaksih,
salam
aan
Selamat Datang Sahabat....
Silahkan tinggalkan komentar dan saran
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon