Orang yang pertama kali tercatat dalam sejarah sebagai seorang wakif
adalah Umar Ibn Khattab r.a., yang mewakafkan kebunnya di Khaibar.
Kisahnya bermula ketika pada suatu hari Umar Ibn Khattab mendatangi
Rasulullah SAW dan menyampaikan soal keberadaan tanah kebunnya yang
begitu subur. Terjadilah dialog ringkas ini.
“Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki sebidang tanah di Khaibar.
Sebelumnya aku tidak pernah memiliki tanah sesubur ini. Apa yang Tuan
perintahkan terhadapku atas tanah tersebut?”
Rasulullah SAW bersabda, “Kalau engkau mau, tahan pokoknya dan alirkan surplusnya!”
Dengan itu Sahabat Umar pun memutuskan untuk tidak menjual,
menghibahkan, atau mewariskan kebunnya. Kemudian atas hasil kebunnya itu
ia jariahkan untuk fakir-miskin, memerdekakan hamba-sahaya, menjamu
para tetamu, dan membiayai kegiatan fi sabilillah lainnya. Demikianlah
pola wakaf yang diajarkan kepada kita, dan diamalkan oleh para dermawan
Muslim di sepanjang sejarah Islam. Tahan asetnya, produktifkan, dan
alirkan surplusnya, untuk kepentingan umum (wakaf khaeri).
Kisah berikut yang bisa kita rujuk adalah dari Abi Thalhah yang
juga mewakafkan tanah kebunnya di Bairukha. Seperti Umar Ibn Khattab ia
juga menemui Rasul SAW, dan menyampaikan niatnya, setelah ia mendengar
sabda Allah SWT dalam Al Qur’an yang berbunyi “Kamu tidak akan
memperoleh kebajikan yang sesungguhnya sampai kamu sedekahkan harta yang
kamu cintai” (Surat Ali Imran, 92). “Sesungguhnya harta yang paling aku
cintai adalah kebunku di Bairukha, ya Rasulallah. Tempatkan ia seperti
yang Allah telah tunjukkan kepadamu,” ujar Abi Thalhah.
Dan inilah jawaban Rasul SAW, “Wah, wah, itu harta yang sungguh
menguntungkan. Aku telah mendengarnya, dan kutunjukkan kepadamu,
sedekahkanlah hartamu itu kepada famili terdekat.” Mendengar itu, Abi
Thalhah membagikan harta itu kepada kaum kerabatnya dan
keponakan-keponakannya. Kisah ini juga mengajarkan kepada kita bahwa
berwakaf untuk keluarga dan kerabat (yang disebut sebagai wakaf ahli)
adalah bagian dari sunnah dan amal.
Meski dengan tujuan yang berbeda, untuk keperluan umum dalam kasus
Umar Ibn Khattab atau untuk keperluan kerabat dan keluarga dekat
seperti dalam kasus Abi Thalhah, keduanya menyerahkan harta
masing-masing dengan landasan cinta. Kebun-kebun terbaik mereka, yang
paling mereka sukai, itulah yang mereka sedekahkan. Dan begitulah
sebenar-benarnya kebajikan. Wakaf, baik wakaf khaeri maupun wakaf ahli,
yang didasarkan kepada pengabdian kepada Allah SWT, merupakan pilar
dari jaminan kesejahteraan sosial dalam Islam, bukan asuransi atau dana
pensiun atau jaminan sosial lainnya, yang tiada lain adalah riba yang
haram – tapi kini merajalela.
Keteladanan dua orang Sahabat nabi di atas juga memberikan kejelasan
kepada kita semua bahwa bersedekah adalah bentuk lain dari pengabdian
kita kepada Allah SWT dan RasulNya SAW. Allah SWT menyatakan dalam Al
Qur’an bahwa bersedekah adalah bagian dari transaksi hidup (dien) orang
beriman dengan Tuhannya. Allah menyebutnya, antara lain, sebagai
‘pinjaman yang baik’ (qardul hasan), yang akan mendapatkan balasanNya.
Karena itu motivasi seorang Muttaqin yang bersedekah mestinya
berbeda dengan orang-orang lain, yang mendasari sedekahnya karena
’dorongan emosional’, semisal ‘merasa kasihan kepada sesama’, atau
‘menolong fakir-miskin’. Apalagi sekadar menjadikannya sebagai ajang
melepas rasa bersalah, karena “merasa dirinya kaya-raya sementara orang
lain miskin”, sambil terus-menerus melakukan eksploitasi atas buruh
pabrik miliknya atau menjalankan bisnis tanpa mengindahkan syariat.
Atau, bahkan, sambil terus mengumpulkan kekayaannya dengan cara-cara
tidak halal dan merusak, bergelimang dalam riba, seperti umumnya ‘kaum
filantropis’ masa kini.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Selamat Datang Sahabat....
Silahkan tinggalkan komentar dan saran
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon