“Membuka lembar demi lembar literatur
sejarah, tertuju pada suatu peristiwa maha agung tentang pengembaraan
agung. Demi keagungan dan kemuliaan jiwa rela menganggalkan semua
atribut merantau menembus gelap samudera, menuju negeri asing bernama
Melayu. Dari negeri Melayu terpancar sinarnya hingga negeri leluhur,
salut dan salam ku untukmu lima opu bersaudara”
Tidak banyak yang mengetahui bahwa 9 dari 14 Sultan Malaysia adalah
keturunan dari bangsawan Luwu. Bahkan Wija to Luwu sebutan untuk
penduduk asli Luwu banyak tidak tahu. Pelatih dari Malaysia bernama Raja
Isa mengaku masih keturunan Luwu dari Opu Daeng Parani.Luwu merupakan satu dari 3 kerajaan besar di Sulawesi Selatan Gowa dan Bone. Gowa sendiri mewakili identitas suku Makassar, Bone mewakili identitas suku Bugis dan Luwu merupakan identitas sendiri wija to Luwu. Dalam salah satu lontara Gowa disebutkan ” Keberanian ada di Gowa, kepandaian ada di Bone dan kemuliaan ada di Luwu”.
Diaspora atau penyebaran orang Sulawesi Selatan ke negeri Melayu sebenarnya terkait dengan sejarah masa lalu, dimulai dengan kisah Sawerigading dan Ksatria Bugisnya pada sekitar tahun 700-900 Masehi membantu Raja Kelantan di Malaysia mengusir pemberontak dan menghalau serangan dari utara Tiongkok. Lalu hubungan berlanjut dengan banyaknya saudagar Melayu yang merapat di Makassar dan sebaliknya. Migrasi paling besar terjadi pasca Perjanjian Bongaya.
************
Seperti sebuah ungkapan indah yang berbunyi dibalik kesusahan akan ada kemudahan, begitulah nasib menuntun lima pangeran bersaudara dari negeri Luwu di tanah Bugis menuju klimaks sejarah. Perjanjian Bongaya menjadi awal bersejarah yang mengubah geo poltik di tanah Bugis-Makassar. Dalam prinsip orang Bugis Makassar janji adalah sebuah hutang yang mesti ditanggung dengan jiwa. Perjanjian Bongaya mengakhiri perang Makassar (1666-1669) yang memunculkan VOC dan Kerajaan Bone sebagai pemenang.
Tidak puas dengan perjanjian Bongaya membawa para pangeran dan pengikutnya untuk hijrah keluar Sulawesi meninggalkan negeri leluhur. Opu Daeng Rileke yang bersuamikan Opu Daeng Kamboja memilih untuk hijrah ke negeri Melayu. Dari perkawinan mereka kemudian lahirlah lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Cella’, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase mereka yang kemudian menjadi cikal bakal Sultan di Malaysia, Riau dan Kalimantan Barat.
Dalam buku-buku sejarah Malaysia sejarah hidup kelima pangeran ini dipelajari dalam sekolah-sekolah mereka, berbanding terbalik dengan Indonesia dimana sejarah kita didominasi oleh Hegemoni Majapahit dan Demak.
Lalu bagaimana para pangeran itu bisa sampai pada tahta sultan ??? semuanya dibuktikan dengan pertempuran demi pertempuran, kepercayaan dari raja di wilayah itu yang memberikan jabatan sebagai panglima perang atau perdana menteri dijawab dengan sukses mengalahkan musuh-musuhnya. Setelah itu pangeran itu menikah dengan putri raja dan kemudian hari mewariskan tahta kerajaan.
Opu Daeng Cella’ memiliki dua orang putra yaitu Raja Lumun dan Raja Haji. Raja Lumun dinobatkan menjadi Sultan Selangor I, bergelar : Sultan Salehuddin. Raja Haji dikenal karena perjuangannya melawan VOC Belanda, karena keberaniannya Belanda menjulukinya sebagai Hannibal dari Riau. Tahun 1997 Pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional. Masa keemasan kerajaan Riau ketika dipimpin oleh keturunan Opu Daeng Cella’ bernama Raja Ali Haji. ” ..Zaman Raja Aji inilah, Kerajaan Melayu mencapai kemajuan dan kebesarannya. Dan bercampurlah darah Bugis dan darah Melayu, yang akan menjadi dasar teguh kelaknya dari apa yang sekarang, kita namai Kebangsaan Indonesia !…” (Buya Hamka)
Raja Ali Haji dikenal dengan karya monumentalnya Gurindam Dua Belas. Bukunya yang berjudul Tuhfat Al Nafis mengisahkan tentang sejarah Melayu dan kepahlwanan orang-orang Luwu dan Bugis di negeri Melayu. Raja Ali Haji dijuluki sebagai Bapak Bahasa Indonesia.
***********
Saudara Opu Daeng Cella’, Opu Daeng Manambun memilih berdiam di Kalimantan Barat, di kesultanan Mempawah. Kedatangan Opu Daeng Menambun ke Kalimantan sebenarnya atas permintaan Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724 M), untuk merebut kembali tahta Kesultanan Matan yang diambil-paksa oleh Pangeran Agung, saudara Sultan Muhammad Zainuddin (Umberan, et.al, 1996-1997:14).
Opu Daeng Menambun bersaudara, yang saat itu sedang berada di Kesultanan Johor untuk membantu memadamkan pergolakan di Semenanjung Melayu. Setelah melalui intrik politik yang panjang, Opu Daeng Manambun naik tahta menjadi sultan di Mempawah.
Sultan Hamid II penguasa dari kesultanan Kadariah Pontianak dan juga pembuat lambang negara Burung Garuda merupakan keturunan dari Opu Daeng Manambun.
Adapun saudara Opu Daeng Manambun lain, mereka bertebaran di sekitar negeri Melayu, Opu Daeng Parani menikahi puteri Raja Selangor. Kemudian beliau menikah lagi dengan adik Raja Kedah. Dengan demikian, Opu Daeng Parani adalah menantu Raja Selangor dan juga adik ipar Raja Kedah. Opu Daeng Kamase dinobatkan menjadi Raja Sambas (Kalimantan Barat) bergelar Pangeran Mangkubumi. Sedangkan Opu Daeng Marewa sebelumnya raja muda di Riau yang setelah mangkat di gantikan oleh Opu Daeng Cella.
Perjalanan panjang orang Luwu dan Bugis di Negeri Melayu menandakan hubungan historis antara Melayu dan Bugis. Perdana Menteri Malaysia sekarang Najib Tun Razak adalah keturunan Arung Wajo dan Raja Gowa di Sulsel. Hubungan yang bisa lebih mendekatkan kedua negeri yang terpisahkan oleh laut.
Sejarah mengajari kita tentang kelahiran, kemajuan hingga kemunduran suatu peradaban. Sejarah dapat memberikan motivasi dan inspirasi dalam banyak hal, mendidik manusia dalam mensikapi makna kehidupannya. Serta sejarah bisa memberikan dampak besar bagi suatu bangsa dia dapat membangun karakter bangsa yaitu karakter bangsa pemenang.
Sumber : Kompasiana
Follow@Syair_Lembayung
Selamat Datang Sahabat....
Silahkan tinggalkan komentar dan saran
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon