Biografi Raja Ali Haji
Biografi merupakan salah satu bagian dari diri seorang tokoh
yang sangat penting untuk diungkap. Tanpa biografi, deskripsi tentang
seorang tokoh menjadi tidak substansial lagi karena memang harus ada dan
menjadi bagian integral dalam tulisan tentang tokoh. Biografi dapat
diartikan sebagai catatan atau riwayat hidup seorang tokoh yang ditulis
oleh orang lain. Dengan demikian, biografi juga bisa dipahami sebagai
alat pengumpul data untuk mengetahui riwayat hidup seorang tokoh yang
ditulis oleh orang lain. Biografi bisa berhubungan tentang data diri
tokoh tersebut, silsilah, latar belakang keluarga, pendidikan,
pengalaman jabatan, aktivitas nasional dan internasional, serta
penghargaan. Dengan biografi ini, pembaca akan mengetahui bagaimana
latar belakang dan riwayat perjalanan hidup tokoh tersebut, mulai dari
kelahiran hingga kematiannya.
Raja Ali Haji (RAH) merupakan tokoh penting di dunia Melayu. Pengaruh pemikirannya terhadap perkembangan dunia Melayu sangat kentara melalui berbagai karya sastra dan lain-lain yang dijadikan rujukan dalam tradisi penulisan klasik maupun modern. Ia juga dikenal sebagai ulama yang banyak berpengaruh terhadap wacana dan tradisi pemikiran di dunia Melayu. Berikut ini dikemukakan biografi RAH.
Raja Ali Haji (RAH) merupakan tokoh penting di dunia Melayu. Pengaruh pemikirannya terhadap perkembangan dunia Melayu sangat kentara melalui berbagai karya sastra dan lain-lain yang dijadikan rujukan dalam tradisi penulisan klasik maupun modern. Ia juga dikenal sebagai ulama yang banyak berpengaruh terhadap wacana dan tradisi pemikiran di dunia Melayu. Berikut ini dikemukakan biografi RAH.
1. Data Diri
Nama Lengkap RAH adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad
al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji
Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Ia dilahirkan pada tahun 1808 M di
pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat (kini masuk dalam
wilayah Kepulauan Riau, Indonesia).
Sekilas tentang Pulau Penyengat. Dalam buku-buku Belanda, pulau kecil ini disebut Mars. Menurut masyarakat setempat, nama pujian-pujian dari pulau ini adalah Indera Sakti. Di pulau ini banyak terlahir karya-karya sastra dan budaya Melayu yang ditulis oleh tokoh-tokoh Melayu sepanjang abad ke-19 dan dua dasawarsa abad ke-20, di mana RAH termasuk di dalamnya.
Catatan tentang hari dan bulan kelahiran RAH berbeda dengan ayahnya. Catatan mengenai kelahiran ayahnya begitu rinci, yaitu pada hari Kamis waktu ‘Ashar bulan Rajab tahun 1193 H di Istana Yang Dipertuan Muda Riau-Raja Haji Ibni Daeng Celak. Sedangkan catatan mengenai RAH jusru singkat sekali. Bahkan, catatan kelahiran RAH lebih banyak didasarkan pada perkiraan saja. Menurut Hasan Junus (2002: 62), masa yang berbeda, keadaan yang berbeda, mengantar pada semangat zaman yang berbeda. Semangat zaman yang berkembang pada saat itu menyebabkan orang-orang memanggil nama RAH dengan sebutan “Raja”.
Orang-orang Melayu pada masa itu sering mengingat waktu kelahiran si anak dengan mendasarinya pada peristiwa-peristiwa penting. RAH lahir lima tahun setelah Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Atau ia lahir dua tahun setelah benteng Portugis A-Famosa di Melaka diruntuhkan atas perintah William Farquhar. Orang-orang Melayu juga sering memberikan nama anaknya dengan mengambil nama datuk (kakek) apabila datuknya itu sudah meninggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kemiripan nama dalam masyarakat Melayu.
Tahun kapan meninggalnya RAH sempat menjadi perdebatan. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 1872. Namun, ternyata ada fakta lain yang membalikkan pandangan umum tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1872, RAH pernah menulis surat kepada Hermann von de Wall, sarjana kebudayaan Belanda yang kemudian menjadi sahabat terdekatnya, yang meninggal di Tanjungpinang pada tahun 1873. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa RAH meninggal pada tahun yang sama (1873) di Pulau Penyengat.
Makam RAH berada di komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah. Persisnya, terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karya RAH, Gurindam Dua Belas diabadikan di sepanjang dinding bangunan makamnya. Sehingga, setiap pengunjung yang datang dapat membaca serta mencatat karya maha agung tersebut.
Sekilas tentang Pulau Penyengat. Dalam buku-buku Belanda, pulau kecil ini disebut Mars. Menurut masyarakat setempat, nama pujian-pujian dari pulau ini adalah Indera Sakti. Di pulau ini banyak terlahir karya-karya sastra dan budaya Melayu yang ditulis oleh tokoh-tokoh Melayu sepanjang abad ke-19 dan dua dasawarsa abad ke-20, di mana RAH termasuk di dalamnya.
Catatan tentang hari dan bulan kelahiran RAH berbeda dengan ayahnya. Catatan mengenai kelahiran ayahnya begitu rinci, yaitu pada hari Kamis waktu ‘Ashar bulan Rajab tahun 1193 H di Istana Yang Dipertuan Muda Riau-Raja Haji Ibni Daeng Celak. Sedangkan catatan mengenai RAH jusru singkat sekali. Bahkan, catatan kelahiran RAH lebih banyak didasarkan pada perkiraan saja. Menurut Hasan Junus (2002: 62), masa yang berbeda, keadaan yang berbeda, mengantar pada semangat zaman yang berbeda. Semangat zaman yang berkembang pada saat itu menyebabkan orang-orang memanggil nama RAH dengan sebutan “Raja”.
Orang-orang Melayu pada masa itu sering mengingat waktu kelahiran si anak dengan mendasarinya pada peristiwa-peristiwa penting. RAH lahir lima tahun setelah Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Atau ia lahir dua tahun setelah benteng Portugis A-Famosa di Melaka diruntuhkan atas perintah William Farquhar. Orang-orang Melayu juga sering memberikan nama anaknya dengan mengambil nama datuk (kakek) apabila datuknya itu sudah meninggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kemiripan nama dalam masyarakat Melayu.
Tahun kapan meninggalnya RAH sempat menjadi perdebatan. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 1872. Namun, ternyata ada fakta lain yang membalikkan pandangan umum tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1872, RAH pernah menulis surat kepada Hermann von de Wall, sarjana kebudayaan Belanda yang kemudian menjadi sahabat terdekatnya, yang meninggal di Tanjungpinang pada tahun 1873. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa RAH meninggal pada tahun yang sama (1873) di Pulau Penyengat.
Makam RAH berada di komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah. Persisnya, terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karya RAH, Gurindam Dua Belas diabadikan di sepanjang dinding bangunan makamnya. Sehingga, setiap pengunjung yang datang dapat membaca serta mencatat karya maha agung tersebut.
2. Silsilah dan Latar Belakang Keluarga
RAH adalah putra Raja Ahmad, yang setelah berhaji ke
Mekkah bergelar Engku Haji Tua, cucu Raja Haji Fisabilillah. Ibunya
bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor atau Putri Raja
Selangor yang meninggal pada tanggal 5 Agustus 1844.
Kakek (datuk) RAH bernama Raja Haji Fisabilillah, merupakan Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau IV. Ia dikenal sebagai YDM yang berhasil menjadikan Kesultanan Riau-Lingga sebagai pusat perdagangan yang sangat penting di kawasan ini. Ia juga seorang pahlawan yang terkenal berani melawan penjajah Belanda, sehingga meninggal di medan perang di Teluk Ketapang (18 Juni 1784). Ia meninggalkan dua putra, yaitu Raja Ahmad (ayah RAH) dan Raja Ja'far.
Raja Ahmad (ayah RAH) dikenal sebagai intelektual Muslim yang produktif menulis karya-karya besar, seperti Syair Perjalanan Engku Putri ke Lingga (1835), Syair Raksi (1841), dan Syair Perang Johor (1843). Ia juga dikenal sebagai pemerhati sejarah, terutama sejarah masa lalu. Dalam karyanya, Syair Perang Johor, ia menguraikan fakta perang Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh pada abad XVII, yaitu pada masa keemasan Johor. Ia dikenal sebagai penulis pertama yang melahirkan sebuah epik yang menghubungkan sejarah Bugis di wilayah Melayu dan hubungannya dengan sultan-sultan Melayu.
Keluarga Raja Ahmad terdiri dari orang-orang terpelajar dan suka dengan dunia tulis-menulis. Anggota keluarganya yang pernah menghasilkan karya adalah Raja Ahmad Engku Haji Tua, RAH, Raja Haji Daud, Raja Salehah, Raja Abdul Mutallib, Raja Kalsum, Raja Safiah, Raja Sulaiman, Raja Hasan, Hitam Khalid, Aisyah Sulaiman, Raja Ahmad Tabib, Raja Haji Umar, Abu Muhammad Adnan, dan lain sebagainya. Jika ditelusuri hingga keturunan Raja Haji Fisabilillah (kakek RAH), maka anggota keluarga Raja Ahmad yang giat berkarya akan bertambah lagi, yaitu Raja Ali, Raja Abdullah, Raja Ali Kelana, R. H. M. Said, dan lain sebagainya.
Dari ayah yang sama (Raja Ahmad), Raja Ali Haji mempunyai beberapa saudara laki-laki dan perempuan, yaitu Raja Haji Daud yang menjadi tabib, Raja Haji Umar (Raja Endut), Raja Salehah (Zaleha), Raja Cik, Raja Aisyah, Raja Haji Abdullah, Raja Ishak, Raja Muhammad Said, Raja Abu Bakar, Raja Siti, Raja Abdul Hamid, dan Raja Usman.
RAH sebenarnya berasal dari keturunan Bugis. Garis keturunan ini berasal neneknya (Opu Daeng Cellak) yang berasal dari tanah Bugis, namun kemudian menetap di Riau dan memperoleh jabatan sebagai Yang Dipertuan Agung (pembantu sultan dalam urusan pemerintahan). Cerita ini bermula ketika La Madusilat, Raja Bugis yang pertama kali masuk Islam, ternyata memiliki keturunan yang salah satunya bernama Daeng Rilaka.
Daeng Rilaka mempunyai lima anak, yaitu Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Cellak, dan Opu Daeng Kemasi. Bersama kelima anaknya itu, Daeng Rilaka meninggalkan tanah Bugis dan mengembara ke wilayah Kesultanan Riau-Johor. Keturunan ini mendapat kedudukan di istana kesultanan. Anak keempat Daeng Rilaka, Opu Daeng Cellak yang merupakan nenek RAH menjadi Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau II (1728-1745), menggantikan saudaranya Opu Daeng Marewah, YDM Muda Riau I (1723-1728).
Jabatan tersebut merupakan realisasi dari perjanjian Kesultanan Riau-Lingga dengan Raja Bugis yang telah berhasil menaklukkan Minangkabau. Ketika itu memang terjadi perang antara Kerajaan Minangkabau dan Kesultanan Melayu. Berdasarkan garis keturunan itu, maka RAH merupakan keturunan Kesultanan Riau-Lingga yang dikenal memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang sangat kuat.
RAH memiliki 17 orang putra-putri, yaitu: 1). Raja Haji Hasan, 2). Raja Mala’, 3). Raja Abdur Rahman, 4). Raja Abdul Majid, 5). Raja Salamah, 6). Raja Kaltsum, 7). Raja Ibrahim Kerumung, 8). Raja Hamidah, 9). Raja Engku Awan ibu Raja Kaluk, 10). Raja Khadijah, 11). Raja Mai, 12). Raja Cik, 13). Raja Muhammad Daeng Menambon, 14). Raja Aminah, 15). Raja Haji Salman Engku Bih, 16). Raja Siah, dan 17). Raja Engku Amdah.
Anak RAH yang pertama (Raja Haji Hasan) mempunyai 12 orang putra-putri, yaitu: 1). Raja Haji Abdullah Hakim, 2). Raja Khalid Hitam (meninggal dunia di Jepang), 3). Raja Haji Abdul Muthallib, 4). Raja Mariyah, 5). Raja Manshur, 6). Raja Qamariyah, 7). Raja Haji Umar, 8). Raja Haji Andi, 9). Raja Abdur Rasyid, 10). Raja Kaltsum, 11). Raja Rahah, dan 12). Raja Amimah. Cucu-cucu RAH ini kemudian menjadi ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat.
Kakek (datuk) RAH bernama Raja Haji Fisabilillah, merupakan Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau IV. Ia dikenal sebagai YDM yang berhasil menjadikan Kesultanan Riau-Lingga sebagai pusat perdagangan yang sangat penting di kawasan ini. Ia juga seorang pahlawan yang terkenal berani melawan penjajah Belanda, sehingga meninggal di medan perang di Teluk Ketapang (18 Juni 1784). Ia meninggalkan dua putra, yaitu Raja Ahmad (ayah RAH) dan Raja Ja'far.
Raja Ahmad (ayah RAH) dikenal sebagai intelektual Muslim yang produktif menulis karya-karya besar, seperti Syair Perjalanan Engku Putri ke Lingga (1835), Syair Raksi (1841), dan Syair Perang Johor (1843). Ia juga dikenal sebagai pemerhati sejarah, terutama sejarah masa lalu. Dalam karyanya, Syair Perang Johor, ia menguraikan fakta perang Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh pada abad XVII, yaitu pada masa keemasan Johor. Ia dikenal sebagai penulis pertama yang melahirkan sebuah epik yang menghubungkan sejarah Bugis di wilayah Melayu dan hubungannya dengan sultan-sultan Melayu.
Keluarga Raja Ahmad terdiri dari orang-orang terpelajar dan suka dengan dunia tulis-menulis. Anggota keluarganya yang pernah menghasilkan karya adalah Raja Ahmad Engku Haji Tua, RAH, Raja Haji Daud, Raja Salehah, Raja Abdul Mutallib, Raja Kalsum, Raja Safiah, Raja Sulaiman, Raja Hasan, Hitam Khalid, Aisyah Sulaiman, Raja Ahmad Tabib, Raja Haji Umar, Abu Muhammad Adnan, dan lain sebagainya. Jika ditelusuri hingga keturunan Raja Haji Fisabilillah (kakek RAH), maka anggota keluarga Raja Ahmad yang giat berkarya akan bertambah lagi, yaitu Raja Ali, Raja Abdullah, Raja Ali Kelana, R. H. M. Said, dan lain sebagainya.
Dari ayah yang sama (Raja Ahmad), Raja Ali Haji mempunyai beberapa saudara laki-laki dan perempuan, yaitu Raja Haji Daud yang menjadi tabib, Raja Haji Umar (Raja Endut), Raja Salehah (Zaleha), Raja Cik, Raja Aisyah, Raja Haji Abdullah, Raja Ishak, Raja Muhammad Said, Raja Abu Bakar, Raja Siti, Raja Abdul Hamid, dan Raja Usman.
RAH sebenarnya berasal dari keturunan Bugis. Garis keturunan ini berasal neneknya (Opu Daeng Cellak) yang berasal dari tanah Bugis, namun kemudian menetap di Riau dan memperoleh jabatan sebagai Yang Dipertuan Agung (pembantu sultan dalam urusan pemerintahan). Cerita ini bermula ketika La Madusilat, Raja Bugis yang pertama kali masuk Islam, ternyata memiliki keturunan yang salah satunya bernama Daeng Rilaka.
Daeng Rilaka mempunyai lima anak, yaitu Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Cellak, dan Opu Daeng Kemasi. Bersama kelima anaknya itu, Daeng Rilaka meninggalkan tanah Bugis dan mengembara ke wilayah Kesultanan Riau-Johor. Keturunan ini mendapat kedudukan di istana kesultanan. Anak keempat Daeng Rilaka, Opu Daeng Cellak yang merupakan nenek RAH menjadi Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau II (1728-1745), menggantikan saudaranya Opu Daeng Marewah, YDM Muda Riau I (1723-1728).
Jabatan tersebut merupakan realisasi dari perjanjian Kesultanan Riau-Lingga dengan Raja Bugis yang telah berhasil menaklukkan Minangkabau. Ketika itu memang terjadi perang antara Kerajaan Minangkabau dan Kesultanan Melayu. Berdasarkan garis keturunan itu, maka RAH merupakan keturunan Kesultanan Riau-Lingga yang dikenal memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang sangat kuat.
RAH memiliki 17 orang putra-putri, yaitu: 1). Raja Haji Hasan, 2). Raja Mala’, 3). Raja Abdur Rahman, 4). Raja Abdul Majid, 5). Raja Salamah, 6). Raja Kaltsum, 7). Raja Ibrahim Kerumung, 8). Raja Hamidah, 9). Raja Engku Awan ibu Raja Kaluk, 10). Raja Khadijah, 11). Raja Mai, 12). Raja Cik, 13). Raja Muhammad Daeng Menambon, 14). Raja Aminah, 15). Raja Haji Salman Engku Bih, 16). Raja Siah, dan 17). Raja Engku Amdah.
Anak RAH yang pertama (Raja Haji Hasan) mempunyai 12 orang putra-putri, yaitu: 1). Raja Haji Abdullah Hakim, 2). Raja Khalid Hitam (meninggal dunia di Jepang), 3). Raja Haji Abdul Muthallib, 4). Raja Mariyah, 5). Raja Manshur, 6). Raja Qamariyah, 7). Raja Haji Umar, 8). Raja Haji Andi, 9). Raja Abdur Rasyid, 10). Raja Kaltsum, 11). Raja Rahah, dan 12). Raja Amimah. Cucu-cucu RAH ini kemudian menjadi ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat.
3. Pendidikan
RAH memperoleh pendidikan dasarnya dari ayahnya sendiri.
Di samping itu, ia juga mendapatkan pendidikan dari lingkungan istana
Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Di lingkungan kesultanan ini,
secara langsung ia mendapatkan pendidikan dari tokoh-tokoh terkemuka
yang pernah datang. Ketika itu banyak tokoh ulama yang merantau ke
Pulau Penyengat dengan tujuan mengajar dan sekaligus belajar. Di antara
ulama-ulama yang dimaksud adalah Habib Syeikh as-Saqaf, Syeikh Ahmad
Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syeikh Abdul Ghafur
bin Abbas al-Manduri, dan masih banyak lagi.
Pada saat itu, Kesultanan Riau-Lingga dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu yang giat mengembangkan bidang agama, bahasa, dan sastra. Oleh karena RAH merupakan bagian dari keluarga besar kesultanan, maka ia termasuk orang pertama yang dapat bersentuhan dengan pendidikan model ini, yaitu bertemu langsung dengan tokoh-tokoh ulama yang datang ke Pulau Penyengat. Ia belajar al-Qur’an, hadits, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pendidikan dasar yang diperoleh RAH adalah sama dengan anak-anak seusianya. Hanya saja, memang RAH memiliki kecerdasan yang di atas rata-rata.
RAH juga mendapatkan pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika ia beserta rombongan ayahnya pergi ke Betawi pada tahun 1822 (sebagaimana akan dibahas pada bagian tersendiri), RAH memanfaatkan momentum ini sebagai wahana untuk belajar. Ia juga pernah belajar bahasa Arab dan ilmu agama di Mekkah, yaitu ketika ia bersama ayahnya dan sebelas kerabat lainnya mengunjungi tanah suci Mekkah pada tahun 1828 (untuk berhaji). Mereka merupakan bangsawan Riau yang pertama kali mengunjungi Mekkah. RAH beserta ayah dan rombongannya sempat ke Mesir, setelah berkelana di Mekkah beberapa bulan. Ketika itu, RAH masih berusia muda.
Selama berkelana di Mekkah, RAH memanfaatkan banyak waktunya untuk menambah pengetahuan keagamaannya. Di tanah suci inilah, pendidikannya seakan-akan mengalami peningkatan yang sangat tajam. Di sana ia sempat berhubungan dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani. Ia belajar kepadanya seputar pengetahuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ulama ini merupakan sosok ulama terpandang di kalangan masyarakat Melayu yang ada di Mekkah. Selama di Mekkah, RAH juga bersahabat dengan salah seorang anak Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, yaitu Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.
Pada saat itu, Kesultanan Riau-Lingga dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu yang giat mengembangkan bidang agama, bahasa, dan sastra. Oleh karena RAH merupakan bagian dari keluarga besar kesultanan, maka ia termasuk orang pertama yang dapat bersentuhan dengan pendidikan model ini, yaitu bertemu langsung dengan tokoh-tokoh ulama yang datang ke Pulau Penyengat. Ia belajar al-Qur’an, hadits, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pendidikan dasar yang diperoleh RAH adalah sama dengan anak-anak seusianya. Hanya saja, memang RAH memiliki kecerdasan yang di atas rata-rata.
RAH juga mendapatkan pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika ia beserta rombongan ayahnya pergi ke Betawi pada tahun 1822 (sebagaimana akan dibahas pada bagian tersendiri), RAH memanfaatkan momentum ini sebagai wahana untuk belajar. Ia juga pernah belajar bahasa Arab dan ilmu agama di Mekkah, yaitu ketika ia bersama ayahnya dan sebelas kerabat lainnya mengunjungi tanah suci Mekkah pada tahun 1828 (untuk berhaji). Mereka merupakan bangsawan Riau yang pertama kali mengunjungi Mekkah. RAH beserta ayah dan rombongannya sempat ke Mesir, setelah berkelana di Mekkah beberapa bulan. Ketika itu, RAH masih berusia muda.
Selama berkelana di Mekkah, RAH memanfaatkan banyak waktunya untuk menambah pengetahuan keagamaannya. Di tanah suci inilah, pendidikannya seakan-akan mengalami peningkatan yang sangat tajam. Di sana ia sempat berhubungan dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani. Ia belajar kepadanya seputar pengetahuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ulama ini merupakan sosok ulama terpandang di kalangan masyarakat Melayu yang ada di Mekkah. Selama di Mekkah, RAH juga bersahabat dengan salah seorang anak Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, yaitu Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.
Sumber : Raja Ali Haji
Selamat Datang Sahabat....
Silahkan tinggalkan komentar dan saran
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon