Bangsa yang Besar Mencintai Anak-Anak

Tahun 2008 telah memasuki pertengahan, tetapi sepanjang tahun itu tantangan dan penderitaan yang dialami anak-anak kita belum juga berakhir.

Kekerasan terhadap anak,baik fisik, psikis maupun seksual, masih menjadi fakta yang nyata dan tidak tersembunyikan lagi.Maka tidak tepat lagi bila dikatakan bahwa kekerasan terhadap anak hanya dianggap urusan domestik atau masalah internal keluarga yang tidak boleh diintervensi oleh masyarakat, pemerintah,atau penegak hukum.

Kekerasan terhadap anak akan membawa dampak yang permanen dan berjangka panjang sehingga penanggulangannya harus dilakukan sekarang juga. Media massa sudah banyak memberitakan berbagai kasus tindak kekerasan terhadap anak.
Kisah-kisah mengerikan seperti dua bocah balita kakak beradik yang dibakar oleh ibu kandung sendiri karena stres dan menderita depresi berat atau gadis cilik usia 7 tahun yang sering dianiaya dan ditemukan tewas mengenaskan di rumahnya,dibunuh oleh ibu tirinya setelah diperkosa oleh paman sendiri.

Lalu ada 3 anak yang dibunuh oleh ibu kandungnya dengan cara dibenamkan ke dalam bak mandi di Bekasi.Semua ini sekadar gambaran kecil dari sebuah fenomena gunung es atas kekerasan terhadap anak yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi.

Menilik ini semua, tentu kita semua bertanya-tanya: apa sebetulnya yang tengah terjadi? Mengapa begitu banyak orang dewasa tega melakukan tindak kekerasan terhadap anak? Bahkan terhadap anak kandung sendiri dan beberapa di antaranya kemudian sampai meninggal dunia?

Paradigma Keliru
Jauh sebelum kasus kekerasan terhadap anak bernama Arie Hanggara yang sangat terkenal pada 1983,terdapat paradigma yang keliru mengenai anak di kalangan begitu banyak orangtua.Seolah anak adalah hak milik orangtua yang dengan demikian boleh diperlakukan apa saja oleh sang orangtua, misalnya untuk menanamkan disiplin atau mengatasnamakan pendidikan.

Apabila orangtua menghukum anak, dengan alasan bahwa anak itu nakal,tidak mau menurut,atau malas belajar,hukuman apa pun adalah sah dan bahkan harus dilakukan. Bukankah ini semua demi kepentingan anak itu sendiri kelak? Demikian pembenaran yang selalu dilontarkan oleh para pelaku tersebut.

Kalau ada orang atau tetangga yang coba mengingatkan, jawabannya selalu,?Ini adalah urusan rumah tangga saya, jangan ikut campur!?. Seolah masalah kekerasan terhadap anak adalah urusan domestik,orang lain tidak berhak untuk ikut campur tangan. Dari data yang dikumpulkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA),hal ini tidak hanya terjadi di kalangan menengah ke bawah atau kalangan kurang berpendidikan saja, tetapi juga banyak terjadi di kalangan menengah ke atas dan kalangan intelektual.

Apabila pada kalangan menengah ke bawah alasannya adalah faktor kemiskinan, pada kalangan menengah ke atas umumnya yang menjadi alasan adalah ambisi orangtua untuk menjadikan anaknya yang terbaik.Apakah itu peringkat di sekolahnya ataupun prestasi di masyarakat sebagai juara ini atau itu, atau ambisi menjadikan anak sebagai selebriti cilik di ajang beragam lomba yang kini banyak ditayangkan di layar TV.

Betapa banyak anak korban tindak kekerasanorangtuainikemudianmenjadi sakit hati,dendam,dan akhirnya menampilkan berbagai penyimpangan perilaku di kemudian hari. Bahkan, dari sebuah catatan kecil Komnas PA tentang kasus kekerasan oleh ibu kandung terhadap anak (9 tahun) dari sebuah keluarga terhormat, dilaporkan bahwa sang anak akhirnya ingin membunuh sang ibu manakala ia dipaksa untuk bertemu dengan ibunya tersebut.

Sungguh memprihatinkan, bukan? Paradigma keliru ini sebaiknya harus segera diakhiri.Sudah saatnya para orangtua mulai menyadari bahwa anak-anak pun memiliki hak asasi sebagaimana manusia dewasa lainnya. Bahwa anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

Orangtuapunharusmenghargaidan menjunjung tinggi hak-haknya. Di antaranya hak untuk hidup layak,tumbuh dan berkembang dengan optimal, memperoleh perlindungan, dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasib sendiri sebagai anak. Mungkin ini bisa diawali dari perubahan sikap yang sederhana, bahwa membentak atau menjewer telinga anak adalah tindak kekerasan yang sebenarnya saat ini sudah harus ditinggalkan dan tidak bisa dibenarkan lagi.

Adanya hak anak ini juga sudah tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia sejak 1990. Kemudian disusul dengan disahkannya Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mencantumkan pula berbagai sanksi bagi pelanggaran hak anak.

Bahkan pada Pasal 80 UU Perlindungan Anak,orangtua diposisikan pada garda paling depan bagi upaya perlindungan anak di mana sanksi pidana yangdijatuhkanterhadappelakutindak kekerasan terhadap anak akan ditambahsepertiganya lagiapabilayang melakukan adalah orangtua sendiri.

Ini semua yang seharusnya terus disosialisasi secara tiada henti oleh semua pihak. Tetangga harus mengingatkan orangtua yang kelewat batas. Di sisi lain, law enforcement juga harus ditegakkan secara tegas.Bahwa pelaku tindak kekerasan seyogianya juga dikenai sanksi pidana maksimal berdasarkan pasal-pasal UU Perlindungan Anak, bukannya sekadar pasal- pasal KUHP belaka.

Sayangnya kita sering baru sadar untuk berbicara serius mengenai hak anak hanya pada saat menjelang Hari Anak Nasional pada bulan Juli saja. Namun setelah itu sering segera dilupakan kembali.

Apakah tidak sebaiknya bila kita berbicara dan meng-ampanyekan upaya pemenuhan hak anak dan menjadikan peringatan Hari Anak Nasional adalah setiap hari sepanjang tahun sehingga kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjunjung tinggi Hak Anak juga dilakukan selama itu? Bila hal itu bisa kita lakukan,ah,betapa indahnya! Betapa bangga dan bahagianya anak-anak kita karena mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh dan berkembang.
Bangsa yang Besar
Kekerasan terhadap anak tampaknya tidak hanya dilakukan oleh para orangtua di dalam keluarga.Kekerasan terhadap anak juga banyak dijumpai di lingkungan sekolah. Hal itu antara lain berupa kurikulum yang terlalu padat dan tidak berpihak kepada anak, sikap sementara oknum guru yang kadang-kadang kasar terhadap anak.Itu semua tidak dapat dibenarkan.

Bagi anak,belajar yang efektif adalah justru belajar yang menyenangkan, bukannya belajar yang penuh dengan rasa ketakutan atau tekanan. Di sisi lain, anak-anak juga mendapatkan tindak kekerasan dari lingkungan masyarakat.

Tayangan TV yang didominasi berbagai berita maupun sinetron bernuansa kekerasan, contoh masyarakat yang menggunakan kekerasan sebagai jalan satu-satunya pemecahan masalah maupun perilaku para tokoh yang seharusnya menjadi anutan tetapi justru mencontohkan berbagai tindak kekerasan adalah serangkaian bentuk kekerasan yang juga sangat besar pengaruhnya bagi pembentukan kepribadian anak di masa mendatang.

Akhirnya serangkaian kekerasan yang juga tak bisa dilupakan adalah kekerasan terhadap anak oleh negara. Betapa banyak pembiaran yang dilakukan oleh negara terhadap jutaan anak di negeri ini.

Dari mulai pembiaran terhadap ratusan ribu anak jalanan yang terpanggang terik matahari di jalan-jalan raya dan jumlahnya semakin meningkat, anak yang terpaksa harus putus sekolah dari haknya untuk memperoleh pendidikan dasar, anak yang kelaparan dan menderita busung lapar karena tidak terpenuhinya hak dasarnya atas kesehatan, ini semua juga akan mengakibatkan hilangnya sebuah generasi unggul bangsa ini di masa depan.

Sekali lagi, semua ini adalah serangkaian tindak kekerasan terhadap anak dan ini semua terjadi karena adanya paradigma yang keliru mengenai anak. Baik itu di kalangan sementara orangtua, pendidik, media elektronik, tokoh anutan maupun sementara pejabat atau pemimpin bangsa.

Sementara pendapat mengatakan bahwa kalau hal ini dibiarkan terus berlangsung dan kekerasan terhadap anak tidak segera dihentikan, cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Karena para pemimpin bangsa ini kelak akan terdiri atas orang-orang yang memiliki masa kanak-kanak penuh kekerasan.

Mereka telanjur gemar akan kekerasan sehingga akan menyelesaikan berbagai permasalahan bangsanya pun dengan cara-cara yang penuh kekerasan. Paradigma keliru ini secepatnya perlu kita ubah. Apabila dulu Bung Karno mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya,itu tepat sekali. Karena memang kita tidak boleh melupakan sejarah masa lalu.

Namun untuk membangun sebuah bangsa, kita juga tidak boleh melupakan persiapan untuk masa yang akan datang dan pemimpin bangsa kita di masa yang akan datang tidak lain adalah anak-anak masa kini.Anak-anak yang perlu kita asuh dengan penuh cinta dan kasih sayang,bukannya dengan cara kekerasan.

Untuk itu, alangkah baiknya bila kita juga melengkapi diri dengan moto: ?Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak!? Bangsa yang bertekad untuk menghentikan kekerasan terhadap anak, sekarang dan untuk selamanya! Semoga. (*)

Seto Mulyadi
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak


Dikutip dari : http://news.okezone.com


Contact 081364726575
Previous
Next Post »

Selamat Datang Sahabat....
Silahkan tinggalkan komentar dan saran


Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment