’’Seteah menerima masukan dan data, 1 Zulhijah jatuh pada 29 November 2008. Jadi, Idul Adha 10 Zulhijah jatuh pada Senin, 8 Desember 2008,’’ kata Ketua Badan Hisab Rukyat (BHR) Depag Muchtar Ilyas saat sidang isbat tersebut.
Sidang yang dipimpin Dirjen Bimas Islam Depag Nasaruddin Umar itu diikuti oleh pimpinan ormas-ormas Islam dan anggota BHR Depag. Menteri Agama Maftuh Basyuni saat ini berada di Makkah untuk memimpin langsung pemantauan pelaksanaan haji.
Muchtar mengatakan, hasil rukyat pada Kamis (27/11) pukul 23.55 WIB menunjukkan, ketika matahari terbenam di seluruh Indonesia, posisi hilalnya masih di bawah ufuk, yakni -5 derajat 39 menit sampai -4 derajat 33 menit. ’’Sebanyak 27 kantor wilayah Depag menyatakan tidak melihat hilal,’’ ujarnya. Karena dari rukyat dilaporkan tidak melihat hilal, Zulkaidah 1429 H digenapkan (diistikmalkan) menjadi 30 hari.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Depag dalam menetapkan 1 Zulhijah terkesan lambat dan menunggu kepastian dari Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Langkah tersebut menunai protes keras dari sejumlah ormas Islam. ’’Akhir bulan Zulkaidah jangan menunggu dari Saudi. Indonesia punya mekanisme sendiri. Biarlah kita menetapkan itu lebih dulu daripada yang lainnya,’’ kata wakil unsur Persatuan Islam (Persis) Abdullah Rahmat.
Menurut Abdullah, Persis mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir, Saudi mendahului satu hari karena hilal masih di bawah ufuk. Kondisi itu menjadi perdebatan dalam organisasinya apakah ibadah hajinya sah atau tidak. Mereka tidak ingin hal itu terulang lagi.
Hamim Aziz dari Al Wasliyah meminta, pelaksanaan sidang isbat dilakukan Depag pada akhir Zulkaidah, tidak seperti saat ini. Hal itu untuk membuktikan bahwa pemerintah memiliki independensi dan tidak bergantung pada KSA. “Sebaiknya seperti penetapan awal Ramadan dan 1 Syawal,’’ ujarnya.
Dirjen Bimas Islam Depag Nasarudin Umar berjanji menyampaikan keluhan tersebut ke Menag Maftuh Basyuni. Pemerintah Saudi, kata dia, sering mengubah secara mendadak keputusan hilal sehingga tidak bisa dijadikan patokan bagi masyarakat Indonesia. ’’Keinginan raja (raja Saudi, red) itu di atas segala-galanya sehingga sulit kalau kami mendahului mereka,’’ kata Nasaruddin.
Dia merasa perlu pengaturan lebih lanjut tentang waktu wukuf di Indonesia. Sebab, jangan sampai memajukan wukuf hanya karena bertepatan dengan haji akbar. Untuk itu, pihaknya sudah memprediksi seluruh Asia Tenggara, Asia Timur, dan Afrika akan sama. ’’Kami memang menunggu meski hasilnya sudah ada,’’ imbuh Nasaruddin. Namun, karena tidak ada persiapan menghadapi perbedaan antara Arab Saudi dan Indonesia, Depag menunggu putusan Arab Saudi untuk menetapkan wukuf.
Nasaruddin juga mengkritisi banyaknya ahli falak yang sudah berusia lanjut. Dia berharap, ada regenerasi mengenai keahlian menguasai ilmu falak. ’’Ilmu falak itu ilmu penting,’’ jelas Nasaruddin.
Sebab, lanjut Nasaruddin, ilmu tersebut menentukan sah atau tidak sahnya ibadah mahdah (inti). Dia berharap ada kajian mendalam tiap organisasi Islam untuk mendalami ilmu hisab dan rukyat. Dalam 1 dan 2 tahun ini, Depag telah melakukan seminar insentif tentang hilal dan kalender Islam di beberapa perguruan tinggi.
Depag, lanjut Nasaruddin, bersyukur inisiatif beberapa organisasi seperti Nadhatul Ulama (NU) telah melaksanakan terobosan mengenai penentuan hilal. Lajnah Falakiyah PB NU, kata Nasarudin, telah mempriotaskan tenaga rukyat yang bersertifikat. ’’Jangan sampai sesungguhnya bukan bulan yang dilihat, tapi planet lain,’’ katanya.
Kalangan ahli rukyat, lanjutnya, berpotensi untuk tidak sependapat, apalagi kalangan ahli hisab. Jika setiap ahli itu bersatu di dalam golongannya, kata Nasarudin, persoalannya hanya tinggal menyelaraskan ahli hisab dan ahli rukyat. ’’Teknologi akan mendekatkan perbedaan dua metodologi itu,’’ ujatnya.
Sumber : Batam Pos
Sidang yang dipimpin Dirjen Bimas Islam Depag Nasaruddin Umar itu diikuti oleh pimpinan ormas-ormas Islam dan anggota BHR Depag. Menteri Agama Maftuh Basyuni saat ini berada di Makkah untuk memimpin langsung pemantauan pelaksanaan haji.
Muchtar mengatakan, hasil rukyat pada Kamis (27/11) pukul 23.55 WIB menunjukkan, ketika matahari terbenam di seluruh Indonesia, posisi hilalnya masih di bawah ufuk, yakni -5 derajat 39 menit sampai -4 derajat 33 menit. ’’Sebanyak 27 kantor wilayah Depag menyatakan tidak melihat hilal,’’ ujarnya. Karena dari rukyat dilaporkan tidak melihat hilal, Zulkaidah 1429 H digenapkan (diistikmalkan) menjadi 30 hari.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Depag dalam menetapkan 1 Zulhijah terkesan lambat dan menunggu kepastian dari Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Langkah tersebut menunai protes keras dari sejumlah ormas Islam. ’’Akhir bulan Zulkaidah jangan menunggu dari Saudi. Indonesia punya mekanisme sendiri. Biarlah kita menetapkan itu lebih dulu daripada yang lainnya,’’ kata wakil unsur Persatuan Islam (Persis) Abdullah Rahmat.
Menurut Abdullah, Persis mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir, Saudi mendahului satu hari karena hilal masih di bawah ufuk. Kondisi itu menjadi perdebatan dalam organisasinya apakah ibadah hajinya sah atau tidak. Mereka tidak ingin hal itu terulang lagi.
Hamim Aziz dari Al Wasliyah meminta, pelaksanaan sidang isbat dilakukan Depag pada akhir Zulkaidah, tidak seperti saat ini. Hal itu untuk membuktikan bahwa pemerintah memiliki independensi dan tidak bergantung pada KSA. “Sebaiknya seperti penetapan awal Ramadan dan 1 Syawal,’’ ujarnya.
Dirjen Bimas Islam Depag Nasarudin Umar berjanji menyampaikan keluhan tersebut ke Menag Maftuh Basyuni. Pemerintah Saudi, kata dia, sering mengubah secara mendadak keputusan hilal sehingga tidak bisa dijadikan patokan bagi masyarakat Indonesia. ’’Keinginan raja (raja Saudi, red) itu di atas segala-galanya sehingga sulit kalau kami mendahului mereka,’’ kata Nasaruddin.
Dia merasa perlu pengaturan lebih lanjut tentang waktu wukuf di Indonesia. Sebab, jangan sampai memajukan wukuf hanya karena bertepatan dengan haji akbar. Untuk itu, pihaknya sudah memprediksi seluruh Asia Tenggara, Asia Timur, dan Afrika akan sama. ’’Kami memang menunggu meski hasilnya sudah ada,’’ imbuh Nasaruddin. Namun, karena tidak ada persiapan menghadapi perbedaan antara Arab Saudi dan Indonesia, Depag menunggu putusan Arab Saudi untuk menetapkan wukuf.
Nasaruddin juga mengkritisi banyaknya ahli falak yang sudah berusia lanjut. Dia berharap, ada regenerasi mengenai keahlian menguasai ilmu falak. ’’Ilmu falak itu ilmu penting,’’ jelas Nasaruddin.
Sebab, lanjut Nasaruddin, ilmu tersebut menentukan sah atau tidak sahnya ibadah mahdah (inti). Dia berharap ada kajian mendalam tiap organisasi Islam untuk mendalami ilmu hisab dan rukyat. Dalam 1 dan 2 tahun ini, Depag telah melakukan seminar insentif tentang hilal dan kalender Islam di beberapa perguruan tinggi.
Depag, lanjut Nasaruddin, bersyukur inisiatif beberapa organisasi seperti Nadhatul Ulama (NU) telah melaksanakan terobosan mengenai penentuan hilal. Lajnah Falakiyah PB NU, kata Nasarudin, telah mempriotaskan tenaga rukyat yang bersertifikat. ’’Jangan sampai sesungguhnya bukan bulan yang dilihat, tapi planet lain,’’ katanya.
Kalangan ahli rukyat, lanjutnya, berpotensi untuk tidak sependapat, apalagi kalangan ahli hisab. Jika setiap ahli itu bersatu di dalam golongannya, kata Nasarudin, persoalannya hanya tinggal menyelaraskan ahli hisab dan ahli rukyat. ’’Teknologi akan mendekatkan perbedaan dua metodologi itu,’’ ujatnya.
Sumber : Batam Pos
Selamat Datang Sahabat....
Silahkan tinggalkan komentar dan saran
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon