Hati pada Cermin


Dunia itu bagai nenek tua yang cantik jelita. Kecantikannya begitu merayu para penghuninya untuk juga tampil menawan. Tidak ada makhluk yang paling ingin tampil rupawan selain manusia. Setiap hari sebagian besar manusia bersolek di depan cermin sebelum berangkat ke sekolah, ke pasar, ke kantor, atau ke tempat kesibukan lainnya. Mereka ingin tampil sempurna, harum, percaya diri, dan mempesona agar kesuksesan dan keindahan mewarnai hari-hari yang mereka lalui.
Terkadang atau bahkan sering, kita terlena dengan segenap aktivitas bersolek. Kita tenggelam ke dalam lautan materialisme, merasa cukup puas dan percaya diri dengan bedak-bedak harta yang mencemongi wajah kita, merasa bangga dengan sekian banyak fasilitas dan kelebihan yang kita punyai, merasa hebat dengan pangkat dan kekuasaan yang kita miliki.
Sebagian kita lupa bahwa perhiasan dunia yang membuat diri kita tampil indah itu seperti air garam di lautan sana. Meminumnya hanya akan menambah haus dan menciptakan dahaga berikutnya. Di saat kehausan tak berujung melanda mereka, sebagian yang lain malah mencibir semua perhiasan itu. Mereka menganggap gemerlapnya hanya akan membuat lupa kepada Allah, padahal sebenarnya mereka lah yang lupa bahwa Allah meminta mereka agar tak lupa dengan kebahagiaan dunia (Al Qashash : 77).
Di antara banyak nasihat yang mengajarkan kita agar berada di mizan keseimbangan, ada satu motivasi positif yang melahirkan energi dahsyat dari makna sebuah doa. Doa itu adalah : Allaahumma kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqii. Salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca saat kita bercermin dan berasal dari hadits yang diiwayatkan Imam Ahmad ini bermakna : Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperindah kejadianku, maka perindah pula akhlak (budi pekerti)-ku.
Ketika kita tak pernah melupakan doa itu saat bercermin, maka semakin terbuka peluang bagi kita untuk merenungkan kedahsyatan maknanya, yakni makna yang mengajarkan kita tentang paradigma Islami mengenai keseimbangan.
Adalah kebahagiaan bagi kita, bahwa bunga-bunga hikmah pun menghiasi aktivitas bercermin (bersolek/mematut diri di depan cermin), padahal aktivitas ini hanyalah rutinitas kecil yang seolah-olah menjadi kemestian tanpa makna yang dalam. Bunga-bunga hikmah itu menjadikan aktivitas kecil ini menjanjikan pembelajaran yang luar biasa bagi para pelakunya. Hal inilah yang justru membuat aktivitas bercermin menjadi sangat istimewa untuk kita telaah bersama.
**
Apa yang kita harapkan ketika ngaca atau bercermin? Kita tentu mengharapkan wajah, rambut, dan pakaian kita tampil rapi dan necis. Ketika bercermin, Kita juga mengantisipasi berbagai hal yang bisa merusak kepercayaan diri, seperti jerawat, debu, kotoran mata, dan lain-lain yang tidak bisa kita ketahui kecuali lewat sebidang cermin, kemudian kita pun berupaya ’menutupi’-nya dengan berbagai cara. Ketika kita sudah tampil ‘sempurna’, kita tersenyum puas dan siap menjalankan aktivitas berikutnya.
Jika kita berdoa Allaahumma kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqii sebelum memulai aktivitas bercermin, maka kita akan berhenti sebentar dan merenungkan sejenak semua upaya yang kita lakukan untuk tampil ’sempurna’.
Kita yang sudah memiliki wajah, rambut, dan pakaian rapi perlu menilik kembali akhlak kita; sudah-kah akhlak kita pun ”rapi”? Kita sering melihat orang-orang yang tampil menawan secara fisik namun wajahnya yang rupawan itu mendadak jelek karena cemberut, melotot, sinis, penuh dendam dan kelicikan (coba deh lihat sinetron-sinetron Indonesia, kan sering tuh para pemerannya yang cantik dan ganteng di-close-up oleh kamera saat menatap kosong sambil mendelik-delikkan atau memicingkan mata lalu menarik bibirnya ke kanan atau kiri sebagai tanda kelicikan). Jika emosi negatif memenuhi wajah kita, maka dalam sekejap runtuh lah kerajaan rupawan yang menguasai negeri sang wajah. Kemudian kita patut bertanya : apakah gerangan yang bisa melahirkan kecantikan alami wajah kita? Maka jawabnya adalah senyum tulus yang lahir dari akhlak yang baik.
Saat kita berusaha menutupi kehadiran jerawat, menghilangkan debu, membersihkan kotoran mata, dan sebagainya, kita pun perlu memetik tanya dalam benak : Sudahkah kita menjaga dan menutupi aib saudara kita dan apakah lisan kita begitu ringan untuk menebar persepsi yang tak pasti perihal saudara kita secara bathil? Seseorang mendadak bertampang bengis dan kejam dan tak lagi cantik rupawan, saat ia memakan bangkai saudaranya sendiri yang disayat-sayat dengan pisau lisan, dari lisannya yang tajam dan sangat ringan dalam menebar keburukan (Al-Hujurat : 12). Kemudian kita patut bertanya : apakah gerangan yang sesungguhnya bisa mengaburkan pandangan orang lain dari semua ketidaksempurnaan diri kita? Maka jawabnya adalah kemampuan untuk menjaga dan menutup ketidaksempurnaan orang lain sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Ketika selesai bercermin dan diri kita tampil ’sempurna’ sebagaimana yang kita inginkan, tidakkah kita berpikir bahwa diri kita sebenarnya jauh dari kesempurnaan dan apakah kita layak untuk tersenyum puas padahal masih banyak akhlak buruk yang membuat kita semakin tidak sempurna? Maka jawabnya adalah : ’kesempurnaan’ fisik adalah anugerah Allah, yang akan sempurna kehadirannya ketika dihiasi akhlak yang baik dan kan tiada artinya jika pembungkusnya adalah akhlak yang buruk.
Maha suci Allah yang telah mensyariatkan agama Islam (Asy-Syuura : 13); agama yang tak pernah mengganggap sepele urusan sekecil bersolek di depan cermin. Kita bisa memahami bagaimana Rasulullah saw, atas petunjuk Allah Swt, sedemikian besarnya memberikan perhatian kepada aktivitas bersolek melalui doa yang diajarkannya. Namun demikian, perhatian yang sungguh-sungguh itu tetap mengusung esensi yang paling esensial dan substansi yang paling substansial dari keindahan seorang makhluk yang bernama manusia. Esensi dan substansi itu adalah akhlak yang baik.
Dalam doa yang singkat dan padat itu, Rasulullah mengajarkan kepada kita agar mengutamakan akhlak yang baik sebagai sumber keindahan hakiki tanpa melupakan keindahan fisik sebagai fasilitas yang Allah karuniakan, sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mengajarkan untuk mencari kebahagiaan akhirat tanpa melupakan kebahagiaan dunia. Dalam doa ini Rasulullah juga mengajarkan agar kita menjadi pribadi-pribadi yang qanaah dalam bingkai kesyukuran bahkan pada saat bersolek sekalipun. Jika demikian adanya, kita tidak akan berlebih-lebihan dalam memperindah diri karena Allah sudah menciptakan kita dengan sebaik-baik bentuk dan karena kita sadar bahwa esensi keindahan itu terletak dalam hati, bukan pada wajah atau tubuh yang indah. Inilah makna keseimbangan yang Islami.
Kita menjadi orang zhalim ketika menganggap keseimbangan dalam urusan ini adalah kondisi 50:50. Demikian pula kita menjadi orang yang zhalim, ketika membalik urutan keseimbangan menjadi ”mengejar keindahahan fisik tanpa melupakan akhlak yang baik”  atau ”mengejar kebahagiaan dunia tanpa melupakan kebahagiaan ukhrawi”. Pembalikan urutan tersebut tidak akan pernah membuat kita seimbang karena sejatinya manusia tidak pernah puas dengan hal-hal materi/duniawi.
Semoga Akhlak kita semakin baik, seiring dengan rutinnya kita berkaca di depan cermin. Semoga Akhlak kita indah sebagaimana raga kita yang sedari dulu telah dirancang dengan desain yang seindah-indahnya oleh Sang Pencipta (At-Tiin : 5).  Allaahumma kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqii. Ya Allah Tuhan kami, indahkanlah akhlakku sebagaimana engkau telah memperindah kejadianku.
Wallahu a’lam bi ash-shawwaab.
Previous
Next Post »

Selamat Datang Sahabat....
Silahkan tinggalkan komentar dan saran


Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment