Saat Gundah Berdiam di Hati


Pernahkah Anda merasa gundah gulana atau khawatir? Saya yakin kita semua pernah merasa khawatir meski intensitas dan frekuensi kekhawatiran berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Jenis kekhawatiran itu pun bermacam-macam, mulai dari kekhawatiran yang berorientasi pada diri sendiri (khawatir gagal dalam UTS/UAS/SPMB, khawatir terjatuh, khawatir kalah, dsb) sampai kepada kekhawatiran yang berorientasi pada orang lain/lingkungan (khawatir mengecewakan orang lain, khawatir akan keselamatan orang lain, dsb). Apapun, kapanpun, dan dimanapun kita berada saat kekhawatiran itu muncul dari dalam hati kita, maka seyogyanya kita berikhtiar untuk menyikapinya secara tepat dan mencegah diri kita agar tidak terhanyut ke dalamnya.
Saudaraku,
Sebenarnya cara untuk menyikapi kekhawatiran itu terangkai dalam kata-kata yang cukup sederhana, tetapi memang terkadang berat dan butuh kesabaran serta keistiqamahan dalam menjalankannya. Kata-kata itu adalah “ikhtiar, doa, dan tawakkal”. Saya yakin sebagian besar dari kita memahami kata-kata ini.
Ikhtiar, doa dan tawakkal adalah beberapa entitas yang memang sudah menjadi kewajiban kita sehari-hari. Kekhawatiran yang kontraproduktif akan muncul ketika kita tidak sabar dan istiqamah dalam berproses melalui ketiga entitas tersebut. Kita tidak akan sabar dan istiqamah, kecuali kita terus berusaha untuk memahami: mengapa kita harus ikhtiar, mengapa kita berdoa, dan mengapa kita bertawakkal.
Pemahaman terhadap ketiga entitis ini akan melemah, kecuali kita terus mendekatkan diri kepada Allah dan yakin bahwa Allah pasti memberikan yang terbaik untuk semua makhluk-Nya. Insya Allah apabila kita sabar dan istiqamah maka Allah akan memberikan petunjuk dan kemudahan sehingga kita semakin dekat dan yakin terhadap kemahakuasaan-Nya. Hubungan2 ini pada akhirnya membentuk sebuah siklus yang harus terus berputar:

Hikmah pertama yang bisa diambil dari bentuk siklus di atas adalah bahwa proses untuk menghilangkan kekhawatiran harus terus berlangsung dan berputar, tidak boleh berhenti. Sebab, siapapun pasti pernah dan akan mengalami kekhawatiran. Selesai kekhawatiran pertama, maka boleh jadi akan datang kekhawatiran kedua, dan begitulah seterusnya. Oleh karena kekhawatiran itu datang silih berganti, maka kita harus terus berproses menghilangkan kekhawatiran itu. Ketika kita berhenti berproses/menghentikan siklus di atas, maka kekhawatiran itu terus menumpuk dan akhirnya menenggelamkan kita.
Saya ingin menawarkan sebuah analogi terhadap “kekhawatiran”. Pada saat kita merasa khawatir, menurut saya kita berada di sebuah mobil yang melintasi sebuah jalan yang panjang dan lebar. Kita melihat ujung jalan itu berakhir di batas cakrawala. Kita tidak tahu apa yang ada di batas cakrawala itu karena jarak pandang kita terbatas. Nah, pada saat itu banyak mobil lain yang melintas ke depan mobil kita dan akhirnya menghalangi pandangan kita dari batas cakrawala tersebut.
“Jalan yang panjang dan lebar” adalah ibarat kehidupan kita yang penuh dengan pilihan dan kesempatan. “Batas cakrawala” itu adalah perumpamaan dari keputusan Allah yang cepat atau lambat akan kita capai dengan “mobil” ikhtiar kita. Kita tidak tahu apa keputusan yang Allah tetapkan untuk kita seperti halnya kita tidak tahu ada apa di ujung jalan itu. Namun, kita sebenarnya yakin bahwa kita akan mencapai batas cakrawala itu, apa pun yang kita temui nantinya. Nah, “mobil-mobil lain yang melintas ke depan kita” adalah perumpamaan sebab-sebab yang bisa membuat kita khawatir.
Kehadiran mobil-mobil itu tidak bisa kita kendalikan sebagaimana banyak hal dalam hidup ini yang terjadi tanpa bisa kita kendalikan lalu membuat kita sedemikian khawatir. Mobil-mobil itu lantas menghalangi pandangan kita dari batas cakrawala atau dengan kata lain boleh jadi membuat kita tidak yakin bahwa kita sebenarnya akan tetap sampai pada keputusan terbaik dari Allah. Saat itu, kita boleh jadi melambatkan laju mobil kita, lalu memencet klakson berulang kali sembari berteriak kesal karena merasa dihalangi. Hmm…mengapa kita tidak “menyalip” mobil itu sehingga kita bisa melihat kembali batas cakrawala itu?
Saudaraku, mari kita kaji sedikit ketiga entitas pada siklus di atas.
Taqarrub dan Yakin kepada Allah Swt
Cukup banyak ayat alQuran yang menyatakan bagaimana Allah menghilangkan kesedihan dan ketakutan dari dada manusia. Kita lah yang mengendarai mobil ikhtiar kita ketika mobil-mobil lain melintas dan menghalangi pandangan kita, tetapi hanya Allah yang bisa memberikan kekuatan kepada kita untuk menyalip mobil2 itu. Inilah cara pertama dan utama untuk meraih ketenangan. Kita berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan-amalan harian kita baik yang mahdhah maupun ghairu mahdhah. Kita pun sering membaca di alQuran bahwa Allah pasti memberikan kemudahan saat kita bersungguh-sungguh, bahwa Allah tidak pernah menzhalimi kita, dll. Beberapa ayat yang bisa kita renungkan lagi adalah al-Lail, al-Insyirah, al-Fath, dll. Quraish Shihab memaparkan tafsir yang sangat menarik tentang ayat ke-5 dan 6 dari surat al-Insyirah. Pada kedua ayat ini terdapat pengulangan kata “al-’usr” yang bermakna “kesulitan” dan “yusraa” yang bermakna “kemudahan”. Kata “al-’usr” yang berbentuk isim ma’rifah dalam kaidah bahasa Arab menunjukkan bahwa isim tersebut menunjuk kepada satu objek yang sama meskipun penyebutannya diulang, sedangkan “yusraa” yang disebut dua kali menunjuk pada dua objek yang berbeda meski sifatnya sama. Dengan demikian berdasarkan tafsiran ini, satu kesulitan insya Allah akan dibarengi oleh dua kemudahan. Subhaanallah! Kadar taqarrub kita boleh jadi turun-naik sebagaimana iman yang juga turun-naik. Namun, bukan ini inti masalahnya. Yang menjadi masalah (dan semoga kita terhindar darinya) adalah ketika kita membiarkan kadar itu terus turun sehingga mobil kita semakin melambat dan akhirnya berhenti, tak mampu untuk melaju lagi. Naudzubillah min dzaalik. Ketika kita menganggap masalah yang kita hadapi begitu berat sehingga kita menjadi sangat khawatir, maka lepaskanlah dengan menangis semampu kita saat kita bermunajat atau saat kita membaca ayat-ayat-Nya. Mari kita benar-benar memosisikan diri sebagai makhluk yang tidak punya daya apa-apa; makhluk yang berada di dalam genggaman-Nya. Janganlah ditahan beban yang memberatkan itu. Insya Allah setelah itu kita akan lebih tenang dan semakin yakin bahwa Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaaInsya Allah usaha kita untuk mendekat kepada-Nya dalam bentuk amal shalih akan membuat kita semakin yakin bahwa Allah akan memberikan segala sesuatu yang tepat dan terbaik.
Pemahaman
Mari kita terus membiasakan diri untuk bertafakur, merenungi mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan; mengapa kita berikhtiar, mengapa kita berdoa, dan mengapa kita bertawakkal. Tentu kita akan sangat sulit memahami (bukan berarti kita tidak cerdas untuk memahami dengan akal pikiran kita, tetapi lebih kepada kemampuan menerima dan menjalankan dengan ikhlas apa yang Allah gariskan untuk kita) mengapa kita harus berikhtiar, berdoa, dan bertawakkal jika kita tidak berusaha mendekat pada-Nya. Selain dari alQuran dan asSunnah, kita perlu juga membaca referensi lain mengenai hakikat ikhtiar, doa, tawakkal, dan hakikat berbagai hal yang kita cari di dunia ini melalui literatur-literatur terutama yang berkaitan dengan tazkiyatun nafs dan pengelolaan hati. Insya Allah jika demikian kita bisa semakin memahami esensi dari apa yang kita lakukan sehingga diri kita semakin kuat dalam kesabaran dan keistiqamahan.

Sabar dan Istiqamah
Ikhtiar, doa, dan tawakkal adalah rangkaian proses yang boleh jadi tidak sebentar alias membutuhkan waktu lama. Karena itu, kesabaran dan keistiqamahanlah yang membuat kita tetap berada dalam lingkaran proses tersebut. Menurut hemat saya, kesabaran dan keistiqamahan yang sejati tidak akan hadir kita apabila kita berikthiar, berdoa, dan bertawakkal hanya untuk “membujuk” Allah agar memenuhi keinginan kita semata, padahal kita tidak tahu apakah memang keinginan itu baik buat kita. Mari kita terus berusaha agar sandaran utama dari segenap ikhtiar, doa, dan tawakkal kita adalah keridhaan Allah. Jika demikian, insya Allah kita akan memiliki tingkat kesabaran dan keistiqamahan yang semakin hari semakin kuat dalam menjalankan proses tersebut. Jika kesabaran dan keistiqamahan sudah menjadi bekal kita, maka dapat dipastikan kita akan mengerahkan ikhtiar terbaik, bukan ikhtiar yang setengah-setengah; doa terbaik yang diiringi harap dan cemas, bukan doa yang penuh keraguan dan prasangka buruk; tawakkal terbaik, bukan kepasrahan yang lebih merupakan wujud keputusasaan…Saudaraku,
Sebenarnya tidak semua bentuk kekhawatiran itu berdampak negatif dan kontraproduktif. Kita diperintahkan untuk bertakwa yang salah satu implikasinya adalah takut/khawatir terhadap azab Allah (lihat Al-Ma’aarij). Inilah kekhawatiran yang tidak boleh hilang dari dada kita, tetapi jangan sampai membuat kita putus asa. Inilah kekhawatiran yang positif karena membuat kita terus berusaha mawas diri. Cara menyikapinya pada dasarnya tetap merujuk pada siklus yang telah dijelaskan di atas.

Saudaraku,
Teriring doa untuk diri ini yang fakir dan Anda semua, semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa sabar dan istiqamah dalam menjalani dinamika hidup dengan ikhtiar, doa, dan tawakkal kepada-Nya.

Wallahu a’lam…


Previous
Next Post »

Selamat Datang Sahabat....
Silahkan tinggalkan komentar dan saran


Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment